Senin, 09 Mei 2016

Aktivis Pinggiran

Menjadi Santri


Puji syukur kepada Yang Maha Kuasa yang membuatku pernah menjadi santri. Terima kasih kepada temanku, si Unung, yang mengiming-imingiku menjadi santri. Terima kasih juga kepada ibu bapakku yang menyebabkan aku menjadi santri. Tidak lama aku menjadi santri, cuma dua tahun.


Perlu aku bersyukur sebab sekarang merasakan beruntungnya menjadi santri. Aku bersyukur dalam sejarah hidupku pernah mengalami kehidupan pesantren. Terasa banyak gunanya. Dan tentu saja punya kisah yang tak dimiliki anak-anak kota yang tak mengenal pesantren.

Kuakui, sebelumnya sering malu kalau orang lain mengetahuiku pernah jadi santri. Kadang sering mangkir pernah jadi santri. Tapi belakangan malah bangga. Aku bangga sebab punya pengalaman hidup yang lebih dari anak-anak kota pada umumnya.

Dari pesantren memang tak sebarapa banyak bertambah ilmuku. Soalnya aku nyantri cuma dua tahun. Sementara santri lain bisa sampai belasan tahun.

Waktu Belanda dikalahkan Jepang, sekolah-sekolah tutup. Anak-anak menganggur. Si Unung, teman sebangku di sekolah, ikut kakaknya nyantri di pesantren P. Ketika pulang, ia menceritakannya dengan menarik. Katanya, mengaji di pesantren lebih cepat ketimbang ngaji di Ajengan Enoh, di Kampung. (Aku dan si Unung mengaji di Ajengan Enoh).

Lalu timbul keinginanku menjadi santri. Semakin bertambah setelah mendengar ceramah Ajengan Ma’mun ketika Rajaban.*

“Sekarang kebanyakan manusia memburu harta dunia seolah-olah akan hidup selamanya. Padahal maut tak diketahui kapan datangnya, bisa besok, bisa nanti, tak ada yang tahu. Saudara-saudara, ilmu itu cahaya, al-ilmu nurun. Orang tak berilmu ibarat di dunia gelap tak tahu jalan yang harus ditempuh. Itulah sebabnya menuntut ilmu itu wajib bagi setiap mukmin. Tholabul ilmi faridlotun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin...” begitu kata Ajengan Ma’mun.

Niatku semakin bulat untuk ke pesantren. Ibuku tak kurang sepuluh kali mengucapkan alhamdulillah ketika aku mengatakannya. Ia kemudian bercerita ke hampir setiap orang kampung. Lalu para orang tua ingin juga memiliki anak sepertiku, menjadi santri.

Aku lupa tanggal persisnya mulai menjadi santri. Tapi tak akan lupa harinya, Rabu. Sebab itu perhitungan kakekku. Menurut dia, mencari ilmu harus dimulai hari Rabu. Aku lupa alasannya, tapi katanya Rabu hari terbaik mulai tholabul ilmi.

Tidak seperti Yogaswara dalam Mantri Jero**, ia berangkat ke pesantren sendirian. Keberangkatanku seperti calon haji yang akan pergi ke Makkah. Seperti Purnama Alam*** pergi ke Pesantren Gurangsarak. Berduyun-duyun pengantar. Kedua pamanku mengapit di kiri kananku, ibu, bapak, dan kakek. Beriringan Mang Ihin dan si Uha, tukang kebun dan anaknya. Keduanya memikul perbekalanku dan oleh-oleh buat ajengan.

Ajengan menyambut hormat kedatangan rombonganku. Apalagi kepada kakek, ia sangat hormat sekali. Sebab kakekkulah yang dulu menikahkannya.

Aku menjadi santri istimewa di pesanten itu. Sampai ditawari, mau tinggal di rumah ajengan atau mau di kobong****. Aku memilih di kobong supaya banyak teman. Kalau di rumah ajengan, takut ketahuan aku tak pintar. Di kobong, aku diberi tempat yang enak. Tak jauh dari jendela. Tempat tidur di atas ranjang. Kopor disimpan di atas.

Malam pertama di pesantren aku merasa takut. Mungkin karena belum ada yang kenal. Dan ternyata susah kenal dengan mereka.

Santri yang tidur di bawah ranjangku sepertinya sedang sakit. Dia berselimut terus. Ketika orang lain ke masjid, dia masih saja berselimut. Selepas Isya kuberi paha ayam dan nasi timbel. Betapa gembira menerimanya.

Santri yang tidur di sebalah kiriku, dari tampangnya saja tampak songong. Di hadapanku, ia membaca Safinah keras-keras. Tambah menyebalkan ketika ia bertanya dengan bahasa Arab, “Man ismuka?”

Sespertinya dia menyangka aku tak mengerti sama sekali bahasa Arab. Padahal yang seperti itu aku pernah belajar kepada Ajengan Suganda. Aku menjawab pertanyaan dengan menyebutkan namaku, ia tidak songong lagi.

“Kamu pernah ngaji ya?” tanya teman yang tiduran di bawahku, sementara giginya menggerus tulang.

“Belum,” kataku.

Nah, dengan merekalah aku pertama kali kenal. Pertama si Atok, yang tidur di bawahku. Kedua si Aceng, yang songong, di sampingku, yang bertanya dengan bahasa Arab.

Ketika mulai ngaji, aku diperkanalkan ajengan. Para santri, ini Den Anu, putranya juragan Anu, putunya juragan Hatib, di B.

Mulai saat itulah aku hidup di pesantren.  


Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia oleh Abdullah Alawi dari kumpulan cerpen otobiografi Dongeng Enteng ti Pesantren. Kumpulan cerpen tersebut diterbitkan tahun 1961 dan memperoleh hadiah dari LBBS di tahun yang sama. Menurut Adun Subarsa, kumpulan cerpen tersebut digolongkan ke dalam kesusastraan Sunda modern sesudah perang. Nama pengarangnya Rahmatullah Ading Afandie sering disingkat RAF. Ia lahir di Ciamis 1929 M. Pada zaman Jepang pernah nyantri di pesantren Miftahul Huda Ciamis. Tahun 1976, ia muncul dengan sinetron Si Kabayan di TVRI, tapi dihentikan karena dianggap terlalu tajam mengkritik. Ketika TVRI cabang Bandung dibuka, RAF muncul lagi dengan sinetron Inohong di Bojongrangkong.

* peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW
** novel karya Memed Sastrahadiprawira
* ** wawacan karya sastrawan R. Suriedireja
**** kamar-kamar di pesantren Sunda, gutekan di Jawa
Aktivis Pinggiran

Kalam-kalam Langit, Keluhuran Al-Qur'an dan Elegi Kisah Cinta

Oleh Syamsul Badri Islamy
Ada rasa sentimental saat menonton Kalam-kalam Langit. Setidaknya itu terasa ketika film bercerita tentang kehidupan pesantren. Termasuk elegi percintaan yang epic; muda-mudi yang saling berkirim surat. Bagian itu dikisahkan dengan pas dan ‘nyata’, tanpa ada kesan dibuat-buat sebagaimana ‘sinetron Islami’ yang justru akhirnya menjemukan.


Kalam-kalam Langit bertutur tentang niat, sesuatu yang ‘abstrak’ dan subjektif. Tentang Ja’far (Dimas Seto) yang mempunyai bakat di bidang tilawatil Qur’an dan memiliki kesempatan untuk mengikuti MTQ. Bakatnya terpantau sejak kecil, saat ia menjuarai MTQ tingkat madrasah. Tak heran sebetulnya, sebab ibunya dulu juga seorang qari’ah.

Namun, keahlian Ja’far di bidang seni baca Al-Qur'an ini terhenti karena ketidaksetujuan ayahnya yang melarang ia mengikuti pelbagai perlombaan. Alasannya, ia khawatir Ja’far akan terjebak pada niat yang salah. “Jangan menjual ayat suci hanya untuk mencari keuntungan atau popularitas,” kata ayah Ja’far yang diperankan Mathias Muchus. Saat itu, ibunya sakit-sakitan dan tak lama kemudian meninggal.

Lulus SD, Ja’far melanjutkan pendidikannya ke pesantren. Bersama dengan Nisa (Elyzia Mulachela), sahabat baiknya sejak kecil. Nisa tak hanya baik sebagai teman, ia juga sahabat yang andal dalam menghafalkan Qur’an. Di pesantren, Ja’far tetap berteman dengan Nisa. Tetapi kehadiran Azizah, putri Kiai Humaidi, sang pemimpin pesantren, di keseharian mereka membuat Nisa cemburu.

Ya, Nisa telah menyimpan rasa kepada Ja’far terutama sejak di pesantren. Alih-alih memahami perasaan Nisa, Ja’far justru meminta Nisa untuk menyampaikan surat cintanya kepada Azizah—tentu saja, karena cemburu, surat tersebut tak pernah ia sampaikan. Sementara, di sisi lain Azizah telah diincar oleh Syathori (Ibnu Jamil).

Bahkan di pesantren sekalipun, setidaknya dalam Kalam-kalam Langit, selalu ada ‘antagonis’ (yang kehadirnnya dengan atau tanpa sebab berkait dengan kebutuhan cerita). Bentuk dan skalanya variatif; mulai dari kecurangan dalam MTQ, hingga kasus pacaran, keluar dari pesantren tanpa izin, merokok, ghozob yang, diakui atau tidak, sering pula terjadi di pesantren.

Syathori, dalam visualisasi cambang yang lebat dan celak hitam yang mengitari matanya, nyalang berikrar ingin kembali mewakili Pesantren Al Amin dalam perlombaan MTQ. Selain terobsesi menjadi juara, ia punya motif lain: ingin mendapatkan Azizah. Motif itulah yang kiranya menjadi kekhawatiran ayah Ja’far.

Maka dalam satu adegan, orang tua Ja’far berpesan kepada putranya, "bacalah Qur’an atas nama Tuhanmu. Menata niat seperti itulah yang justru digambarkan menjadi kesulitan terbesar seorang qari’." Bahkan sampai saat itu, Ja’far masih terus belajar untuk memposisikan bacaan Qur’an-nya sebagai ‘dakwah’. Sementara Syathori telah tergelincir pada niatan yang salah.

Dan, antagonis selalu licik. Ja’far yang telah dipilih Kiai Humaidi untuk mewakili Al Amin, setelah sebelumnya dikuatkan KH Said Aqil Siradj, "Membaca Qur’an dengan suara yang enak dan merdu adalah bagian dari dakwah"—justru difitnah oleh Syathori dengan tuduhan yang sebetulnya ia lakukan sendiri.

Saat itu Ja’far pulang dan bolos belajar qira’ah kepada Kiai Humaidi lantaran ayahnya sakit dan harus segera dioperasi. Ia butuh uang untuk operasi. Nisa mendapat pinjaman dari Syathori dengan syarat Ja’far harus mengundurkan diri dari MTQ. Tanpa diduga, mentah-mentah ayahnya menolak bantuan itu. “Sejak kapan kamu bisa dibeli,” kata ayah Ja’far. “Kamu harus takut sama Gusti Allah.”

Maka Ja’far kembali ke pesantren dan mengembalikan uang pemberian Syathori dan mengikuti MTQ. Sayang, menjelang pengumuman, ada kabar bahwa ayah Ja’far meninggal. Ada keharuan yang menyeruak di benak dalam potongan-potongan adegan bagian ini. Tentang pertanyaan; apa lagi yang kau cari, yang bisa kau berikan dan banggakan kepada orang tua, bila mengaji saja tak bisa atau tak pernah?

Dan lantunan Ar-Rahman yang bertalu-talu membasahi jiwa yang kering kerontang. Menimbulkan getaran-getaran yang patut disyukuri, bahwa hati kita masih bisa lumer dan tersentuh dan tidak membantu saat dibacakan Kalam-Kalam Langit. Film ini sungguh nostalgia, bagi orang-orang yang telah lama meletakkan Qur’an di daftar bacaan terakhir setelah koran dan media sosial.

Perjalanan ‘sufistik’ Ja’far cukup panjang, hingga muncul pertanyaan pada diri sendiri: “Apakah ini jalanku menuju-Mu, atau hanya nafsu kemenangan?” Tapi ia selalu diingatkan pesan almarhum ayahnya, bacalah (hanya) atas nama Tuhanmu, dan untuk ibumu. Kesulitan menata niat bahkan bisa kita rasakan ketika perhelatan MTQ tingkat nasional...

Azizah menerima lamaran Syathori—hal yang cukup menyesakkan sebetulnya. Dan saat itu, ia meminta bertemu dengan Ja’far hanya untuk memintanya mengundurkan diri dari perlombaan. Suaminya, kata Azizah, sangat terobsesi menjadi juara. “Kalau kamu tidak mau melakukannya, lakukanlah demi aku,” kata Azizah.

Kalimat itu memberikan kita pelajaran: kita mesti memilih jodoh yang baik. Sebab, seperti halnya kebaikan, keburukan pun menular. Saat final, Ja’far mengedarkan pandangan ke seluruh hadirin. Kita merasakan betapa emosionalnya momen itu. Di depan Azizah, Ja’far bisa saja berkeinginan membuktikan bahwa ia lebih baik daripada Syathori.

Cerita berakhir dengan kemenangan. Ja’far mempersembahkan piala juara MTQ ke pusaran ibunya. Kemudian muncullah Nisa, yang terkesan buru-buru berujar: “Aku mencari imamku.”—terlampau menyederhanakan cerita. Ja’far memang tidak mendapat apa yang ia inginkan (Azizah), tetapi yang ia memperoleh apa yang ia butuhkan: Nisa. 


Penulis adalah Ketua LTN PCNU Kota Bekasi

Aktivis Pinggiran

Film Mars: Kegigihan Perempuan dan Pendidikan

Mendengar kata Mars, mungkin ingatan kita cepat tertuju kepada nama sebuah planet dalam tatasurya. Mars pula yang menjadi judul film pertama yang disutradarai Sahrul Gibran, dan diproduksi Multi Buana Kreasindo.

Meski mengacu pada nama planet, film ini tidak akan bercerita terlalu banyak tentang planet itu. Tetapi adalah Sekar Palupi (Acha Septriasa), tokoh utama dalam film ini yang diharapkan oleh ibunya, Tupon (diperankan oleh Kinaryosih) menjadi bintang secerah Mars, yang biasa mereka lihat menggelantung di langit malam. Tupon dan Sekar menyebutnya lintang lantip (bintang yang cerdas).

Latar tempat di film ini, Gunung Kidul, Yogyakarta, diceritakan sebagai daerah yang belum mendapatkan akses listrik, serta masyarakatnya masih amat kental dengan hal-hal klenik atau mistis. Di daearah itu pula, kebanyakan orang tidak mendapatkan atau bahkan sangat jarang bisa berpendidikan hingga tingkat SMA.

Mars juga mengacu pada penyingkatan dari tagline film ini yang merupakan kepanjangan dari Mimpi Ananda Raih Semesta. Mars bercerita tentang kegigihan Tupon, seorang ibu miskin, buta huruf, tidak pernah bersekolah, bahkan tidak mengenal sekolah itu seperti apa. Meski begitu, Tupon selalu memberikan semangat kepada anaknya, dan melakukan apa saja supaya anaknya bisa sekolah.

Penulis skenario film ini adalah John D’Rantau. Cerita diadaptasi dari novel karya Aishworo Ang berjudul sama, dan diterbitkan Diva Press.

Pengambilan gambar dilakukan di Yogyakarta dan Universitas Oxford, London, Inggris. Di London syuting dilakukan di Perpustakan Boedlein, lokasi yang juga dipakai untuk pengambilan gambar film Harry Potter. Dengan demikian Mars menjadi film Indonesia pertama dan film kedua dunia yang mendapatkan izin syuting di lokasi tersebut.

Syuting di Universitas Oxford dilakukan karena menyesuaikan kebutuhan cerita, di mana Sekar akhirnya mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di universitas tersebut.

“Film ini akan mengingatkan kita pada perjuangan ibu kita,” kata Ketua PP Fatayat NU, Anggi Ermarini saat dihubungi NU Online, Jumat (15/4).

Lebih lanjut, Anggi mengungkapkan warna Islami dalam film ini juga kental. Itu bukan saja karena Sekar dewasa mengenakan kerudung, tetapi bahwa menempuh pendidikan adalah juga perintah agama.

Anggi juga menyampaikan alasan mengapa PP Fatayat sebagai gerakan perempuan yang bernaung di bawah NU mendukung film ini. Ialah karena film ini menceritakan semangat pemberdayaan perempuan dan pendidikan. Faktor lainnya, karena bulan April (tanggal 24) adalah hari lahir Fatayat NU, dan Mei adalah momen Hari Pendidikan Nasional.

“Kami berdiskusi panjang lebar untuk mendukung film ini. Dari semangat itu (harlah Fatayat dan Hardiknas), kita dukung film ini. Kami terlibat sejak ide-ide pembuatan, promosi, dan bagaimana agar film ini bisa menginspirasi masyarakat,” imbuh Anggi.

Film Mars akan tayang di bioskop mulai 4 Mei 2016. Selain Acha Septrisa dan Kinaryosih, Mars juga didukung sejumlah bintang andal seperti Teuku Rifnu Wikana, Jajang C. Noor, Cholidi Asadila A, Ence Bagus, dan Chelsea Riansy.

“Ini film yang inspiratif karena menceritakan kecintaan seorang ibu kepada anaknya. Kita sebagai orang tua (ibu) harus memberikan semangat dan percaya bahwa anak kita mampu melampaui—tidak hanya mencapai—mimpinya,” tambah wanita yang berpembawaan enerjik itu
.(NU-Online.or.id).