Sabtu, 23 Oktober 2021

Pelajar NU NGT

Kirab Hari Santri Nasional Ngantang

Ngantang, Pelajar NU Online

PCNU Kabupaten Malang kembali menggelar Kirab Pataka Panji NU mengelilingi 33 kecamatan. Ini diadakan dalam rangka memeriahkan Peringatan Hari Santri Nasional 2021.

Kirab tersebut dijadwalkan berlangsung selama 7 hari secara berkelanjutan. Dimana, hari pertama kirab Panji NU start dari MWC NU Turen, berlanjut ke MWC NU Ampel Gading, Tirtoyudo dan Dampit. 

Hari kedua, Kirab dimulai dari MWC NU Gondang Legi, Pegelaran, Bantur, gedangan dan berakhir di MWC NU Sumbermanjing Wetan. Hari ketiga, Kirab dimulai dari MWC NU Sumberpucung  dan dilanjutkan ke MWC NU Kali Pare, Donomulyo, serta Kecamatan Pagak. 

Hari ke Empat, MWC NU Kepanjen menjadi lokasi pertama dimulainya Kirab Panji NU dan dilanjutkan ke MWC NU Kromengan, Ngajum, Wonosari, Wagir, dan bermalam di MWC NU Pakisaji. 

Hari kelima, Kirab berlanjut menuju ke arah Malang Utara, yang dimulai dari MWC NU Bululawang, Tajinan, Wajak, Poncokusumo, dan berkakhir di MWC NU Tumpang. 

Hari keenam, Kirab berlanjut ke MWC NU Pakis, Jabung, Lawang, Singosari, dan MWC NU Karangploso. 

Pada hari terakhir ini yaitu kirab hari ke tujuh, Kirab dimulai dari MWC NU Kasembon, dan dilanjutkan ke MWC NU Ngantang, Pujon, dan Dau. 

Kirab hari ini yang bertempat di Kecamatan Ngantang setelah dari kasembon di hadiri oleh seluruh Badan Otonom Nahdlatul Ulama di Kecamatan Ngantang, mulai dari IPNU-IPPNU, Fatayat, Ansor, Muslimat dan jajaran Pengurus Majlis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama serta ranting di Kecamatan Ngantang. 

“Kirab Panji NU dalam rangka Hari Santri Nasional 2021, berbeda dari tahun sebelumnya. Meski dilaksanakan di tengah pandemi, Kirab tahun ini digelar selama tujuh hari dan keliling 33 MWC NU dan tentunya dengan prokes ketat. Ini sejarah bagi PCNU Kabupaten Malang,” ujar Koordinator Kirab Panji NU PCNU Kabupaten Malang , Iffah. 

Para pengurus Banom, mulai dari tingkat Ranting hingga MWC NU serta warga Nahdliyin menyambut dengan lagu Ya Lal Wathan. Kemudian di lanjutkan dengan pembacaan doa oleh Rois Syuriyah MWCNU kec. Ngantang.

Adapun tim yang mengawal rombongan Kirab Panji NU terdiri dari kader IPNU-IPPNU, Fatayat, Muslimat, Ansor dan Banser di Kecamatan Ngantang. Mereka yang akan mengawal dan menghantar bendera Pataka NU ini sampai kecamatan Pujon. 

Kirab Panji NU digelar, bertujuan sebagai syiar NU dan memeriahkan Hari Santri Nasional. Kirab Panji NU nantinya juga mengkampanyekan nilai-nilai nasionalisme, NKRI dan Pancasila. “Itu semua dikemas dalam nilai-nilai Islam Nusantara atau Islam yang rahmah. Karena Islam itu ramah, dan secara tegas Indonesia menolak Islam radikal,” Ucap salah satu rombongan Kirab dari PCNU. 

“Sesuai dengan tema HSN 2021, “Bertumbuh, Berdaya, dan Berkarya”. Santri diharapkan terus menunjukkan taringnya, memberikan manfaat, dan menjadi agen perubahan, meski di tengah pandemi covid-19. (Chabib/Red)


Jumat, 22 Oktober 2021

Pelajar NU NGT

22 Oktober Resolusi Jihad NU


Hari ini, 22 Oktober, 73 tahun lalu PBNU menyerukan Resolusi Jihad di Surabaya untuk menyikapi perkembangan situasi yang menunjukkan gelagat bakal berkuasa kembalinya penjajah Belanda melalui pemerintahan yang disebut NICA.  


Pada awal Oktober 1945, tentara Jepang di Semarang dan Bandung yang sudah dilucuti rakyat merebut kembali kota Semarang dan Bandung yang telah jatuh ke tangan Indonesia dan kemudian menyerahkan kepada Inggris. 

Pemerintah RI menahan diri untuk tidak melakukan perlawanan dan mengharapkan penyelesaian kasus itu secara diplomatik. Pemerintah RI bahkan  menerima saja ketika melihat bendera Belanda dikibarkan di Jakarta. Tindakan Jepang yang menguntungkan Inggris itu  membuat marah para pemimpin Indonesia, termasuk para ulama NU.

Kecurigaan terhadap orang-orang sosialis yang tergabung dalam PRI melakukan operasi sepihak menyelamatkan orang-orang Belanda, tanggal 10 – 11 Oktober 1945 ketika PRI menggeledah kantor RAPWI dan perumahan Eropa sudah tersiar kabar bahwa ditemukan banyak bukti tentang rencana serangan, perangkat radio, peta sistem komunikasi, instruksi dari pemerintah NICA di Australia. Suasana di Surabaya pun memanas. 

Lalu dengan alasan untuk menghindari aksi massa, tanggal 15 Oktober 1945 sekitar 3500 orang Belanda dan Indo Belanda yang sudah dilepas dari interniran Jepang, diam-diam  oleh PRI dinaikkan truk-truk dan dibawa ke penjara Kalisosok (werfstraat) untuk ditahan serta ditempatkan di sejumlah tempat yang aman. Sebagian truk yang membawa para tawanan itu kemudian dihadang massa di depan markas PRI di Simpang Club dan para tawanan itu dihakimi massa secara brutal.

Kabar bakal mendaratnya Sekutu yang diboncengi tentara NICA makin keras terdengar  di tengah penduduk Surabaya yang dicekam kemarahan ditambah pidato-pidato Bung Tomo lewat Radio Pemberontakan mulai mengudara. Atas dasar berbagai pertimbangan  PBNU mengundang konsul-konsul NU di seluruh Jawa dan Madura agar hadir pada  21 Oktober 1945 di kantor PB ANO di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya.  

Malam hari tanggal 22 Oktober 1945, Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari, menyampaikan amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam, pria maupun wanita, dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya. Rapat PBNU yang dipimpin Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah itu kemudian menyimpulkan satu keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah”, yang isinya sebagai berikut:

“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…”

Inilah seruan Jihad yang secara syar’i disepakati para ulama dengan maksud utama  membela Negara Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945 dari serangan bangsa lain yang ingin menjajah kembali bangsa Indonesia. Penduduk Surabaya yang sudah panas pun tambah terbakar semangatnya karena amarah mereka terhadap musuh memperoleh legitimasi Jihad dari ulama, sehingga mati pun dalam keadaan membela kedaulatan Negara Indonesia akan beroleh balasan surga. 

Demikianlah, sejak tanggal 22 Oktober 1945 itu seluruh penduduk bersiaga perang menunggu pendaratan tentara Inggris yang kabarnya sudah tersiar sejak pekan kedua Oktober 1945. Pidato-pidato Bung Tomo lewat Radio Pemberontakan yang ditandai teriakan Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar pun makin mengobarkan semangat perjuangan semua penduduk Jawa Timur dari kalangan pemimpin setingkat gubernur, Menteri Pertahanan, Walikota  hingga ke warga kampung.

Seruan untuk berjihad fii sabilillah inilah yang menjadi pemicu perang massa (Tawuran Massal) pada tanggal 27, 28, 29 Oktober 1945. Saat itulah, arek-arek Surabaya yang dibakar semangat jihad menyerang Brigade ke-49 Mahratta pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby. Hasilnya, lebih dari 2000 orang pasukan kebanggaan Inggris tewasnya. Sang Brigadir Jenderal, A.W.S. Mallaby juga tewas akibat dilempar granat.

Perang Massa (Tawuran Massal) tanpa komando yang berlangsung selama tiga hari yang mengakibatkan kematian Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby itulah yang memicu kemarahan Inggris yang berujung  pada pecahnya pertempuran besar Surabaya 10 November 1945 yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Pahlawan. 

Sayang sekali, fakta sejarah tentang Resolusi Jihad NU dan Perang Massa (Tawurang Massal) tiga hari itu diam-diam tidak disinggung dalam penulisan sejarah seputar  peristiwa pertempuran 10 November 1945 yang dikenang oleh Inggris dengan satu kalimat: “Once and Forever”, bahkan belakangan peristiwa itu disingkirkan dari fakta sejarah seolah-olah tidak pernah terjadi. 


Kamis, 14 Oktober 2021

Pelajar NU NGT

Memuliakan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW


Ketika memasuki bulan Rabiul Awal, umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi SAW dengan berbagai cara, baik dengan cara yang sederhana maupun dengan cara yang cukup meriah. Pembacaan shalawat, barzanji dan pengajian­pengajian yang mengisahkan sejarah Nabi SAW menghiasi hari-hari bulan itu. 


Sekitar lima abad yang lalu, pertanyaan seperti itu juga muncul. Dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi (849 H - 911 H) menjawab bahwa perayaan Maulid Nabi SAW boleh dilakukan. Sebagaimana dituturkan dalam Al-Hawi lil Fatawi:

"Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awwal, bagaimana hukumnya menurut syara'. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab: Menurut saya bahwa asal perayaan Maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca Al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmnti bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah al-hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka dta dan kegembiraan atas kelahiran Nnbi Muhammad SAW yang mulia". (Al-Hawi lil Fatawi, juz I, hal 251-252)

Jadi, sebetulnya hakikat perayaan Maulid Nabi SAW itu merupakan bentuk pengungkapan rasa senang dan syukur atas terutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini. Yang diwujudkan dengan cara mengumpulkan orang banyak. Lalu diisi dengan pengajian keimanan dan keislaman, mengkaji sejarah dan akhlaq Nabi SAW untuk diteladani. Pengungkapan rasa gembira itu memang dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan anugerah dari Tuhan. Sebagaimana firman Allah SWT :

قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلْيَفْرَحُوا


Katakanlah (Muhammad), sebab fadhal dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah kalian. (QS Yunus, 58)

Ayat ini, jelas-jelas menyuruh kita umat Islam untuk bergembira dengan adanya rahmat Allah SWT. Sementara Nabi Muhammad SAW adalah rahmat atau anugerah Tuhan kepada manusia yang tiadataranya. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ


Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. al-Anbiya',107)

Sesunggunya, perayaan maulid itu sudah ada dan telah lama dilakukan oleh umat Islam. Benihnya sudah ditanam sendiri oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits diriwayatkan:

عَنْ أبِي قَتَادَةَ الأنْصَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ اْلإثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ – صحيح مسلم


Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab, "Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (HR Muslim)

Betapa Rasulullah SAW begitu memuliakan hari kelahirannya. Beliau bersyukur kepada Allah SWT pada hari tersebut atas karunia Tuhan yang telah menyebabkan keberadaannya. Rasa syukur itu beliau ungkapkan dengan bentuk puasa.

Paparan ini menyiratkan bahwa merayakan kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW termasuk sesuatu yang boleh dilakukan. Apalagi perayaan maulid itu isinya adalah bacaan shalawat, baik Barzanji atau Diba', sedekah dengan beraneka makanan, pengajian agama dan sebagainya, yang merupakan amalan-amalan yang memang dianjurkan oleh Syari' at Islam. Sayyid Muhammad' Alawi al-Maliki mengatakan:

"Pada pokoknya, berkumpul untuk mengadakan Maulid Nabi merupakan sesuatu yang sudah lumrah terjadi. Tapi hal itu termasuk kebiasaan yang baik yang mengandung banyak kegunaan dan manfaat yang (akhirnya) kembali kepada umat sendiri dengan beberapa keutamaan (di dalamnya). Sebab, kebiasaan seperti itu memang dianjurkan oleh syara' secara parsial (bagian­bagiannya)”

“Sesungguhnya perkumpulan ini merupakan sarana yang baik untuk berdakwah. Sekaligus merupakan kesempatan emas yang seharusnya tidak boleh punah. Bahkan menjadi kewajiban para da'i dan ulama untuk mengingatkan umat kepada akhlaq, sopan santun, keadaan sehari-hari, sejarah, tata cara bergaul dan ibadah Nabi Muhammad SAW. Dan hendaknya mereka menasehati dan memberikan petunjuk untuk selalu melakukan kebaikan dan keberuntungan. Dan memperingatkan umat akan datangnya bala' (ujian), bid'ah, kejahatan dan berbagai fitnah". (Mafahim Yajib an Tushahhah, 224-226)

Hal ini diakui oleh Ibn Taimiyyah. Ibn Taimiyyah berkata, "Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi SAWakan diberi pahala. Begitulah yang dilakukan oleh sebagian orang. Hal mana juga di temukan di kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS. Dalam Islam juga dilakukan oleh kaum muslimin sebagai rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi SAW. Dan Allah SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid'ah yang mereka lakukan". (Manhaj as-Salaf li Fahmin Nushush Bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 399)

Maka sudah sewajarnya kalau umat Islam merayakan Maulid Nabi SAW sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan juga karena isi perbuatan tersebut secara satu persatu, yakni membaca shalawat, mengkaji sejarah Nabi SAW, sedekah, dan lain sebagainya merupakan amalan yang memang dianjurkan dalam syari'at Islam.

(Penulis : Ahmad Majdub)


Sabtu, 09 Oktober 2021

Pelajar NU NGT

Out Bond IPNU-IPPNU Ngantang



Pelajar NU NGT. - Dalam rangka memperkuat pemahaman tentang ke NU an, PAC (Pimipinan Anak Cabang) IPNU (Ikatan Pelajar Nahdhotul Ulama) dan IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdhotul Ulama) Kecamatan Ngantang gelar Outbong di Sumantoro Forest.

Acara yang di selenggarakan sejak tanggal 10 Oktober 2021 tersebut di ikuti oleh sebanyak 20 peserta, namun dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.

Tema kali ini kita mengangkat judul "Memperkuat Solidaritas yang bervisi kebangsaan berlandaskan nilai-nilai ahlussunah Wal jamaah".

Menurutnya, tujuan dari tema tersebut adalah untuk mensolidkan kader kader pelajar NU, sekaligus sebagai upaya menangkal paham radikalisme.

Kegiatan outbond ini, di rangkai dengan berbagai aktifitas game yang membuat peserta antusias dan bergembira. Dengan di bumbui pertanyaan seputar review materi makesta yang telah didapatkan saat Makesta kemarin.

Selain itu ketua IPNU Kecamatan Ngantang juga berharap "Harapan saya dengan kegiatan ini adalah dapat mencetak kader IPNU IPPNU yang aktif dan solid, baik di organisasi maupun di masyarakat. Sehingga bisa turut serta dalam meneruskan perjuangan nilai nilai dan cita cita NU di kecamatan Ngantang" Jelas Rekan Danni.

Kendati demikian, Kukuh Widayanti selaku ketua IPPNU kecamatan Ngantang juga berpesan "Semoga dengan di adakannya Outbond ini, dapat menarik minat para anak muda nahdliyin untuk menjadi bagian dari IPNU IPPNU khususnya di wilayah kecamatan Ngantang, dan dapat berperan aktif sebagaimana visi misi organisasi" Pungkasnya.

Kegiatan Outbond ini di mulai pukul 07.00 WIB sampai pukul 13.00 WIB, dan pada malam sebelumnya ada dari rekan-rekanita panitia yang mengecamp di lokasi tersebut. 

(Red, Chabib)

Senin, 04 Oktober 2021

Pelajar NU NGT

Shalat Lidaf’il Bala’: Tradisi Islam di Bulan Shafar Warisan Para Ahli Shufiyah


Shalat sunnah lidaf’il bala’ (tolak bala’) merupakan shalat sunnah hajat yang dikerjakan pada malam atau hari rabu akhir bulan Safar, tepatnya pada hari rabu pada pekan keempat. Shalat sunnah ini dikerjakan empat rakaat dua salam dan dilaksanakan secara berjamaah.

Shalat sunnah ini dilakukan dalam rangka memperingati sekaligus menenangkan umat dalam rangka berlindung kepada Allah akan datangnya bala’ dan bencana yang terjadi pada bulan Safar. Awal mula munculnya ibadah ini adalah berdasarkan ilham dan ijtihad para ulama’ salaf maupun ulama’ sufiyah terdahulu yang teringat bahwa bulan safar adalah bulan yang penuh dengan kesialan dan malapetaka, dan hari rabu pekan keempat merupakan hari yang paling na’as pada bulan itu. Seorang sufi asal India, Ibnu Khathiruddin Al-Atthar (w. th 970 H/1562 M), dalam kitab “Jawahir Al-Khamsi” menyebutkan, Syekh Al-Kamil Farid-Din Sakarjanj telah berkata bahwa dia melihat dalam “Al-Awrad Al-Khawarija” nya Syekh Mu’inuddin sebagai berikut:

أَنَّهُ يَنْزِلُ فِيْ كُلِّ سَنَةٍ ثَلاَثُمِائَةِ اَلْفٍ وَعِشْرِيْنَ أَلَفًا مِنَ الْبَلِيَّاتِ وَكُلُّهَا فَيْ يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ الْأَخِرَةِ مِنْ شَهْرِ صَفَرِ فَيَكُوْنُ ذَلِكَ الْيَوْمُ أَصْعَبُ أَيِّمِ تِلْكَ السَّنَةِ، فَمَنْ صَلَّى فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَقْرُأُ فِيْ كُلِّ مِنْهَا بَعْدَ الْفَاتِحَةِ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ سَبْعَةَ عَشَرَ وَالْإِخْلاَصَ خَمْسَ مَرَّاتٍ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ مَرَّاةً وِيَدْعُوْ بِهَذَا الدُّعَاءِ حَفَظَهُ االلهُ تَعَالَى بِكَرَمِهِ مِنْ جَمِيْعِ الْبَلاَيَا  الَّتِيْ تَنْزِلُ فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَمْ تُحْمَ حَوْلَهُ بَلِيَّةٌ مِنْ تِلْكَ الْبَلاَيَا إِلَى تَمَام السَّنَةِ.

Artinya: “Sesungguhnya dalam setiap tahun diturunkan sekitar 320.000 macam bala’ yang semuanya ditimpakan pada hari rabu akhir bulan Safar. Maka hari itu adalah hari tersulit dalam tahun itu. Barang siapa shalat empat rakaat pada hari itu, dengan membaca di masing-masing rakaatnya setelah Al-Fatihah yakni surat Al-Kautsar 17 kali, Al-Ikhlas 5 kali, mu’awwidzatain masing-masing satu kali dan berdoa –do’anya Insya Allah akan disebutkan setelah ini–, maka dengan sifat karamnya Allah, Allah akan menjaganya dari semua bala’ yang turun pada hari itu dan di sekelilingnya akan terhindar dari bala’ tersebut sampai genap setahun” .

Adapun cara pelaksanaan shalat sunnah ini sama dengan shalat-shalat sunnah pada umumnya. Namun yang membedakannya adalah, setiap habis membaca surat Al-Fatihah pada masing-masing rakaatnya membaca: Surat Al-Kautsar 17 kali, Surat Al-Ikhlas 5 kali, Surat Al-Falaq dan surat An-Naas masing-masing satu kali.

Adapun doa yang dibaca setelah selesai shalat lidaf’il bala’ seperti berikut:

بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا محمَّدٍ وَّ عَلَى ألهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. نَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لاَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ القَيُّوْمُ وَنَتُوْبُ إلَيْهِ تَوْبَةَ عَبْدٍ ظَالِمٍ لاَيَمْلِكُ لِنَفْسِهِ ضَرًا وَلاَ نَفْعًا وَلاَ حَيَاةً وَلاَ مَوْتًا وَلاَ نُشُوْرًا. اللَّهُمَّ صَلِّيْ عَلَى سَيِّدِنَا محمَّدٍ. وَادْفَعْنَا مِنَ الْبَلاَءِ الْمُبْرَامِ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْدُ بِكَلِمَاتِ التَّآمَّاتِ كُلِّهَا مِنَ الرَّيْحِ الْأَحْمَرِ وَمِنَ الدَّآءِ الْأَكْبَرِ فِيْ نَفْسِنَا وَدَمِّنَا وِلحمِنَا وَعَظْمِنَا وَجُلُوْدِنَا وَعُرُوْقِنَا. سُبْحَانَكَ إِذَا قَضَيْتَ مَرًّا أَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ. الله أَكْبَرُ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ ٣X.

اللَّهُمَّ يَا شَدِيْدَ الْقَوِيَّ وَيَا شَدِيْدَ الْمَحَالِ يَا عَزِيْزُ يَا مَنْ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جمِيْعَ خَلْقِكَ يَا مُحِسِنُ يَا مُجْمِلُ يَا مُتَفَضِّلُ يَا مُنْعِمُ يَا مُكْرِمُ يَا مَنْ لآاِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ ارْحَمْنَا بِرَحْمًتِكَ يَا أرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اللَّهُمَّ بِسِرِّ الْحَسَنِ وَاَخِيْهَا وَجَدِّهَا وَاَبِيْهِ وَاُمِّهِ وَبَنِيْهِ اكْفِنَا شَرَّ هَذَا الْيَوْمِ وَمَا يَنْزِلُ فِيْهِ يَاكَافِيَ الْمُهِمَّاتِ يَادَافِعَ الْبَلِيَّاتِ فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمِ وَحَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِا اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ. وَ صَلَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَّ عَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ. آمين.

Setelah pelaksanaan shalat berakhir, biasanya diadakan shadaqah sekadarnya seperti halnya kenduri yang diawali dengan membaca doa tahlil, kemudian dilanjutkan dengan ceramah atau mauidhah hasanah secukupnya, yang selanjutnya acara tersebut diakhiri dengan makan bersama. Setelah itu, para jamaah dipersilakan mengambil air barakah yang sudah dipersiapkan oleh tuan rumah atau panitia sebelumnya. Para jamaah pun bisa langsung meminumnya di tempat, atau boleh juga dibawa pulang untuk diminum bersama keluarga di rumah.

Status Hukum Shalat Sunnah Lidaf’il Bala’

Walaupun ibadah ini oleh sebagian kalangan dikategorikan sebagai amalan yang tidak diajarkan oleh Rasulullah saw dan bahkan menganggapnya sebagai bid’ah, namun oleh para ulama’ sufiyah dan tarekat, amalan shalat lidaf’il bala’ ini tetap boleh dikerjakan asalkan tidak menganggapnya sebagai keharusan yang mesti dilakukan. Keeksistensian ibadah ini pula jangan sampai dijadikan bahan perselisihan sehingga timbul pertentangan di kalangan internal umat muslim. Akan tetapi justru amalan ini dijadikan momentum peningkatan kualitas ibadah kepada Allah swt serta sebuah sarana agar dapat berlindung kepada-Nya dari segala macam bencana dan mara bahaya yang akan menimpanya.

Allah swt berfirman:

وَ اسْتَعِيْنُوْا بِا الصَّبْرِ وَالصَّلَوةِ (البقرة: 45)

“Carilah pertolongan (Allah) dengan sabar dan shalat” (QS. Al-Baqarah: 45).

Ayat diatas diperkuat dengan hadirnya sunnah Rasulullah saw:

عن حذيفة رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلّى الله عليه وسلّم إذا حزبه أمر فزع إلى الصّلاة (رواه أحمد و أبو داود)

Dari Hudzaifah ra berkata: “Apabila Rasulullah saw menemui suatu kesulitan, maka beliau segera menunaikan shalat” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Apalagi semua shalat –baik shalat wajib maupun shalat sunnah– merupakan sebuah ibadah yang ditekankan untuk dilakukan oleh setiap muslim. Rasulullah saw telah bersabda:

الصّلاة خير موضوع

“Shalat adalah sebaik-baik amal yang ditetapkan (Allah untuk hamba-Nya)”

Ditambah lagi, setelah selesai shalat dilanjutkan dengan mauidhoh hasanah dan disertai dengan shadaqahan ala kadarnya. Inipun juga dianjurkan oleh Nabi saw dalam sabda beliau:

بَكِرٌوْا بِا الصَّدَقَةِ فَإِنَّ الْبَلاَءَ لاَ يَتَخَطَّاهَا (رواه الطبراني)

“Segeralah bershadaqah, sebab bala’ bencana tidak akan melangkahinya” (HR. Thabrani).

Yang menjadi permasalahan disini ialah, banyak di kalangan umat Islam meyakini bahwa amalan-amalan yang tidak ada tuntunannya secara langsung dari Rasulullah saw – seperti halnya shalat lidaf’il bala’ ini – dianggapnya sebagai keharusan yang mesti dikerjakan, akan tetapi ibadah-ibadah yang jelas-jelas ada tuntunannya dari Rasulullah saw, oleh masyarakat tidak dianggap sebagai keharusan –seperti shalat berjamaah, shadaqah dan semacamnya–bahkan terasa malas untuk mengerjakannya. Pandangan seperti inilah yang sangat keliru, dan perkara ini amat dekat dengan bid’ah. Padahal, perkara yang sifatnya qath’i (jelas dalil dan contohnya) harus didahulukan untuk diamalkan daripada perkara yang tidak langsung dicontohkan oleh Rasulullah saw, atau terakulturasi oleh budaya-budaya tertentu. Namun yang jelas, bentuk ibadah seperti di atas, bukan bermaksud untuk mengubah-ubah syari’at, tetapi sebagai bentuk strategi dalam rangka meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah, dengan catatan tidak menafikkan perkara-perkara yang jelas dalilnya.

Jadi tidak benar apabila shalat ini dianggap sebagai bid’ah dan statusnya haram dikerjakan oleh umat Islam.

(Dikutip dari : Berbagai Sumber)