Selasa, 22 September 2015

Pelajar NU NGT

Mengkritisi Pemikiran Hizbut Tahrir














Baru-baru ini kita melihat semangat keislaman yang menggelora dari generasi muda. Sayangnya, semangat memunculkan Islam sebagai alternatif terbaik itu tidak diimbangi dengan pemahaman yang ‘mumpuni’ dalam ilmu agama. Merasa bangga ketika memperjuangkan ‘simbol’, akan tetapi buta terhadap ‘esensi’. Karakter yang melekat dari inklinasi semacam ini adalah, mudah sekali menuduh kafir kelompok lain yang tidak se-ide dengan pemikiran mereka.

Itulah Hizbut Tahrir. Partai yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1980 ini, cukup mendapat respon yang baik dari pemuda-pemuda kampus yang tidak mempunyai background yang mumpuni tentang pengetahuan Islam. Penulis menduga kuat, suksesnya dakwah mereka cukup paralel dengan slogan-slogan islamis yang dielu-elukan oleh simpatisan ‘Partai Pembebasan’ ini.

Pada tulisan ini, penulis hendak membedah inti pemikiran Hizbut Tahrir dari sumber-sumber primer mereka, kemudian penulis akan coba komparasikan dengan pendapat ulama-ulama serta pemikir kontemporer terkait masalah yang dibidik. Permasalahan yang coba penulis tampilkan adalah asumsi keharusan mendirikan Negara Islam sebagai wahana pemersatu umat Islam se-dunia. Permasalahan pertama ini tersusun dari premis-premis; pertama, kedaulatan rakyat adalah sistem kufur yang diciptakan oleh Barat. Karenanya, demokrasi dianggap sistem kufur sebab bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Kedua, praktek politik pada masa Nabi merupakan representasi ideal—sekaligus diasumsikan diambil dari nash qath’iy--bagi kelangsungan politik untuk era sekarang. Khilafah Islamiyyah—bagi mereka--juga alternatif terbaik untuk mengentaskan umat Islam dari hegemoni Barat.

Sejarah Kemunculan dan Falsafah Pemikiran Hizbut Tahrir

Hizbut Tahrir lahir di Palestina tahun 1953, dengan pendirinya Taqiyuddin al-Nabhani, seorang Hakim di Haifa. Berdirinya Partai Kebebasan ini erat kaitannya dengan invasi Israel ke Palestina dan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani yang tumbang tahun 1924. Awalnya al-Nabhani merupakan pengagum Sayyid Quthb, dan sempat memberikan beberapa kuliah di markas besar Ikhwanul Muslimin di Yerusalem.  Lahir di desa Ijzim, Palestina, 1914 M. Nama lengkapnya adalah Taqiy Al-Din bin Ibrahim bin Musthafa bin Isma’il bin Yusuf Nashir Ad Din An Nabhani. Hidupnya berpindah-pindah, dari Jordania, Syiria,dan akhirnya wafat Lebanon. Ia sempat mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir pada tahun 1928 M. Al-Nabhani terbilang cukup produktif, beberapa buah karyanya adalah; Nidzam al-Islam, al-Takattul al-Hizbi, Mafahim Hizb al-Tahrir, al-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam, al-Nidzam al-Ijtima’i fi al-Islam, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, al-Dawlah al-Islamiyyah, Mafahim Siyasiyah li Hizb al-Tahrir, dan lain sebagainya.  Buku yang dianggit sebelum mendirikan Partai Pembebasan bertajuk Risalat al-Arab.

Sistem kepemimpinan Hizbut Tahrir disebut ‘Imarah’ yang dipegang oleh Amir al-Hizb. Batas kepemimpinan Amir al-Hizb tidak terbatas, atau seumur hidup. Taqiyuddin al-Nabhani sendiri memegang tampuk Amir al-Hizb sampai tahun 1977 (sekaligus tahun wafat beliau). Selepas Al-Nabhani, tampuk Amir digantikan oleh Abdul Qadim Zallum (1977). Sebagaimana al-Nabhani, Abdul Qadim Zallum pernah mengenyam pendidikan di al-Azhar. Perjumpaannya dengan Taqiyuddin al-Nabhani terjadi pada tahun 1952, atau satu tahun sebelum Partai ini berdiri. Di antara karya Zallum adalah; al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah, Nidzam al-Hukm fi al-Islam, al-Ta’rif bi Hizb al-Tahrir, al-Dimuqrathiyyah Nidzam Kufr, dan sebagainya. 

Wafatnya Abdul Qadim Zallum (2003) ditandai dengan perpecahan di tubuh Partai. Masa vakum ini memunculkan kelompok sempalan Hizbut Tahrir yang menamakan diri mereka kelompok reformis (al-Tayyar al-Ishlahi). Kelompok reformis pada hakikatnya merupakan oposisi dari Amir ketiga, Atha’ Abu Rasytah—yang masih memegang posisi Amir sampai sekarang, Juru Bicara Hizbut Tahrir Yordania sekaligus pengganti Abdul Qadim Zallum. Sebab, ketika Abu Rasytah didaulat menjadi Amir, dari kelompok reformis ini telah mengajukan Amir sendiri, Abu Bakar al-Khuwalidah.

Dalam perjalanan pergerakan Hizbut Tahrir, mereka membagi dalam tiga fase penting; pertama, fase doktrinasi pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir secara personal, agar masyarakat menerima eksistensi mereka. Pada fase yang diawali semenjak 1953 ini, Taqiyuddin al-Nabhani sangat berperan besar. Sebab secara langsung ‘turun lapangan’ memperkenalkan pada masyarakat doktrin-doktrin Hizbut Tahrir. Pada saat respon masyarakat dinilai positif, mereka melanjutkan pada fase kedua; interaksi dengan masyarakat agar mereka ikut merasakan dakwah Islam dan mempunyai kesadaran yang sama tentang realitas Islam. Pada fase ini, Hizbut Tahrir mulai memerangi pemikiran-pemikiran yang tidak sejalan Islam secara massif. Memprogandakan cacatnya kepemimpinan yang tidak sejalan dengan Islam. Setelah masyarakat mulai kehilangan kepercayaan dengan pemimpin mereka, Hizbut Tahrir mulai beralih ke fase ketiga; penerimaan kekuasaan melalui penegakkan Negara Islam guna mengaplikasikan Islam secara komprehensif.

Dalam buku bertajuk Hizb al-Tahrir, keluaran Hizbut Tahrir, definisi Partai Pembebasan ini adalah partai politik yang berideologi Islam, dan lahan dakwahnya dalam ranah politik, serta memimpin umat Islam untuk kembali pada pemerintahan Islam sehingga mampu berhukum dengan sebagaimana yang sudah diturunkan oleh Allah. 

Falsafah yang mendasari berdirinya ‘partai pembebasan ini’—sebagaimana terangkum dalam buku terbitan Hizbut Tahrir sendiri yang bertajuk Mafahim Hizb al-Tahrir—berpijak dari kemunduran massif peradaban Islam semenjak abad 12 H yang berbanding lurus dengan lemahnya semangat umat Islam untuk memperdalam Islam itu sendiri. Lemahnya generasi umat Islam untuk memperdalam Islam—bagi mereka—inheren dengan upaya memisahkan Arab dan Islam.  Sedang gagalnya proyek kebangkitan—yang bertopang dari Islam—setidaknya kembali pada tiga alasan; pertama, tidak memahami secara komprehensif pemikiran Islam; kedua, hanya memperdalam hukum yang bersifat teoritis, akan tetapi mengabaikan aspek praksis; ketiga, asumsi keterpisahan pemikiran Islam dan aplikasinya.

Keterpisahan mempelajari hukum Islam yang terpisah dari cara implementasinya secara total termanifestasikan tatkala umat Islam berbondong-bondong mempelajari tatacara shalat, puasa, nikah, talak, akan tetapi mengabaikan hukum Jihad, ghanimah, hukum-hukum dalam pemerintahan, dan sebagainya. Sehingga pada abad 19 M, ada pemahaman yang keliru terkait paradigma aplikasi Islam dalam masyarakat; Islam ditafsirkan agar kontekstual dengan masyarakat, bukan masyarakat yang menyesuaikan dengan Islam. Dengan demikian, merupakan keharusan untuk mengaplikasikan Islam sebagaimana adanya pada masyarakat tanpa terpengaruh waktu, tempat atau masa.

Oleh karena itu, diperlukan adanya gerakan Islam yang mengembalikan Islam pada wacana teori sekaligus memungkinkan mengaplikasikannya secara total, dan memulai hal tersebut dari skala yang paling kecil; dunia Arab. Inilah awal mula muncul ide untuk mendirikan Negara Islam. Dimulai dari skup yang terkecil untuk bermu’amalat secara Islami, kemudian melebarkan sayapnya ke penjuru negeri. 

Selain itu, kewajiban umat Islam adalah menerapkan hukum Islam secara paripurna di semua sendi kehidupan, melalui Undang-Undang atau peraturan yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis. Aplikasi secara sempurna tersebut tidak mungkin terwujud terkecuali dengan wujudnya negara yang bisa mengakomodir semua itu. Itulah Negara Islam, dimana Khalifah atau pemimpinnya menerapkan syariat Islam secara sempurna. 

Hizbut Tahrir dalam merealisasikan agendanya melalui penguasaan parlemen sehingga mampu mendirikan Negara Islam. Adapun piranti untuk sampai pada parlemen adalah; pertama, memusatkan perhatian pada upaya doktrinasi terhadap masyarakat tentang Islam (al-ihtimam bi al-‘amal al-tsaqafi/tastqif). Pada aspek ini, seperti pernyataan al-Nabhani sendiri dalamal-Takattul al-Hizby, Hizbut Tahrir jelas mengikrarkan pengabaian terhadap aspek etika dalam Islam, dan mengedepankan pemikiran dan pengetahuan tentang peradaban Islam. Kedua, memusatkan perhatian aktivitasnya dalam ranah politik (al-ihtimam bi al-‘amal al-siyasi). Dalam ranah politik, mereka berusaha sekuat mungkin untuk meruntuhkan aturan-aturan yang dibuat bukan dari asas islami. Dalam buku yang bertajuk Manhaj Hizb al-Tahrir, mayoritas Negara yang dihuni oleh umat Islam sekarang layak disebut Dar al-Kufr, karena mengadopsi hukum-hukum yang berasal bukan dari asas Islami dan tidak dibawah kontrol masyarakat Islam.

Ketika Negara Islam sudah terealisasi, Hizbut Tahrir mengagendakan menyusun Undang-Undang yang diawali dengan telaah problematika masyarakat, kemudian membuat kaidah umum—sebagai referensi Hakim/Qadli ketika memberikan putusan hukum--yang bisa dijadikan neraca mengentaskan varian problem yang berkembang. Mereka mensyaratkan, aturan tersebut merupakan perpanjangan dari fikih Islam. Interpetasi Undang-Undang yang dilakukan oleh Hakim harus melalui penguasaan teks Islam (al-Nushush al-Syar’iyyah), ushul fikih, atau fikih.

Mereka beranggapan, Islam sebagai agama mempunyai aturan. Aturan ini adalah hukum-hukum syariat yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Aturan-aturan tersebut terklasifikasi pada hukum-hukum yang mempunyai orientasi mengentaskan problem masyarakat (fikrah), dan hukum-hukum yang mencakup tatacara aplikasi hukum, menjaga akidah dan menyebarkan dakwah (thariqah). Islam tersusun dari dua unsur ini, dan tak akan mungkin berislam secara sempurna tanpa upaya menjalankan keduanya. Mereka mencontohkan bahwa shalat adalah fikrah. dan Negara Islam merupakan thariqah, yang bertugas tidak hanya menganjutkan umat Islam untuk melaksanakannya secara teratur saja, akan tetapi juga mengupayakan hukuman bagi yang meninggalkan shalat. 

(Penulis : Ahmad Majdub)

Minggu, 20 September 2015

Pelajar NU NGT

Khilafah HTI Benarkah Khilafah Sunni?

 


Siapa yang tidak ingin Islam kembali jaya seperti pada masa-masa keemasan Islam. Ilmu agama tersebar ke seluruh penjuru, dipimpin oleh satu pimpinan yang adil dan sanggup menjalankan syariat Islam secara total. Itu adalah cita-cita seluruh umat Islam di dunia.


Kemudian, Hizbut Tahrir yang didirikan pada tahun 1953 oleh Taqiyuddin an-Nabhani, datang dan mengusung dakwah penegakan khilafah yang dipimpin khalifah tunggal di muka bumi. Dia menawarkan konsep yang telah ia susun tentang khilafah dan pemerintahan Islam. Menurutnya, kelemahan Islam saat ini lebih disebabkan oleh tidak adanya khlilafah yang memimpin seluruh umat Islam di dunia.


Hizbut Tahrir telah menyusun konsep khilafah dengan sangat rinci. Banyak poin-poin yang jarang menjadi pembahasan dalam konsep Ahlusunah diatur oleh mereka, seperti struktur kepemerintahan yang terdiri atas 13 jihaz (jabatan) dan pembatasan calon khilafah (maksimal enam orang). Mereka melandaskan aturan-aturan itu pada fakta historis dan apa yang dilakukan oleh Nabi SAW dan para Khulafaur-Rasyidin.

Jumlah enam itu diambil karena calon yang ditetapkan oleh Sayidina Umar r.a hanya berjumlah enam orang. Namun apakah hal itu menjadi suatu aturan yang harus ditetapkan? Dan bila tidak, apakah pemerintahnya tidak dianggap sama sekali? Ataukah itu hanya konsep ideal yang tidak menutup terjadinya realita berbeda sehingga pemerintahnya tetap sah?


Sebenarnya memang ada perbedaan antara konsep khilafah HT dan Ahlusunah. Perbedaan ini berawal dari perbedaan sudut pandang mengenai apakah konsep itu merupakan harga mati ataukah sebuah konsep ideal. Untuk itu, berikut penulis tampilkan beberapa di antaranya:


Pertama, mereka menyebutkan dalam kitab Ajhizatu Daulatil-Khilafah, hal 60, “Kaum Muslimin di seluruh dunia wajib berada dalam satu negara dan wajib pula hanya ada satu khalifah bagi mereka. Secara syariat, kaum Muslimin di seluruh dunia haram memiliki lebih dari satu negara dan lebih dari seorang khalifah.”

Menurut mereka, khalifah di muka bumi harus satu orang, dan itu harga mati. Jika khilafah telah ditegakkan di suatu daerah, maka seluruh umat Islam di dunia harus tunduk dan patuh kepadanya.


Memang pendapat jumhur (mayoritas) ulama Sunni menyatakan bahwa imam tidak boleh lebih dari satu dalam satu masa. Namun Imam al-Haramain dan Imam al-Juwaini serta sebagian ulama Syafi’iyah dan Malikiyah memperbolehkan dilantiknya imam lebih dari satu bila memang tidak memungkinkan.


Untuk saat ini, penegakan imam tunggal di muka bumi sangatlah sulit untuk diwujudkan mengingat umat Islam telah terkotak-kotak di negara yang berbeda-beda. Tentu saja perdebatan tentang penegakan khilafah sentral akan sangat alot. Bahkan bisa jadi sebelum khilafah itu tegak, perang saudara justru akan meledak. Di situlah Ahlusunah melihat kenyataan. Pesimis? Bukan, tapi realistis. Melihat realita yang ada, bangunan Islam di Indonesia tetap kita sempurnakan, bukannya merombak dan membangunnya dari awal lagi.


Kedua, dalam Nidzamul-Islam, hal 151, ad-Daulah Islamiyah, hal 304, dan Nidzamul-Hukmi fil-Islam, hal 110, tentang hal-hal yang melengserkan khalifah seketika itu. Di antaranya adalah “fasik yang terang-terangan”.

Pendapat ini jelas berbeda dengan Ahlusunah. Ulama Ahlusunah menetapkan bahwa seorang khalifah tidak dapat dilengserkan sebab ia fasik. Imam Nawawi menjelaskan, “Ahlusunah menyepakati bahwa seorang sultan tidak dilengserkan karena perbuatan fasik yang dilakukan olehnya.” Pendapat ini juga searah dengan Hadis Nabi SAW, “(Kita diperintahkan juga agar) Tidak memberontak terhadap para penguasa kecuali jika kalian melihatnya melakukan kekufuran yang jelas.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Dan Hadis, “Barang siapa yang membenci dari amirnya hendaknya ia bersabar atasnya, karena tidak seorangpun membangkang terhadap seorang sultan kemudaian mati dalam keadaan seperti itu maka ia mati jahiliyah.” (HR. Muslim). Dampaknya, jika khalifah itu tak lagi dianggap otomatis, dia sudah tidak lagi wajib ditaati dan wajib mengangkat khalifah baru lagi.


Ketiga, tentang darul-islam. Mereka menyebutkan dalam Hizbut-Tahrir, hal 5, “Umat Islam sejak runtuhnya khilafah, mereka hidup tanpa daerah Islam dan tanpa hukum Islam.” Juga pada halalaman 29 dalam Manhaj Hizbit-Tahrir, hal 5 dan 8, “Dan di negeri-negeri kaum Muslimin sekarang tidak satu negeri atau pemerintahan yang mempratikkan hukum-hukum Islam dalam hal hukum dan urusan kehidupan, karena itulah semuanya terhitung darul-kufri meskipun penduduknya adalah Muslimin.”


Menurut Imam ar-Rafi’i dan beberapa ulama lain dengan mengutip pendapat kalangan Syafi’iyah, darul-islam ada tiga macam. Pertama, tempat bermukin para Muslimin. Kedua, daerah yang ditaklukan oleh umat Islam. Ketiga, tempat yang ditinggali umat Islam tapi kemudian dikuasai oleh orang-orang kafir.

Memang mayoritas ulama Sunni menyatakan bahwa daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kaum Muslimin tapi kemudian dikuasai orang-orang kafir, daerah itu tetap disebut darul-islam.


Keempat, kewajiban berbaiat. Mereka menyebutkan, “Baiat adalah kewajiban umat Islam.” (Nidzamul-Hukmi fil-Islam, hal 65). Mereka mengambil dasar dari sebuah Hadis Ibnu Umar r.a, “Dan, barang siapa yang mati tanpa baiat di lehernya, maka dia mati jahiliah.” (HR. Muslim). Pada halaman 67, mereka juga menjelaskan, “Baiat itu dengan berjabat tangan atau dengan penulisan.”


Hadis di atas sebenarnya terpotong. Ada kutipan sebelumnya yang berbunyi, “Barang siapa yang melapas tangan dari ketaatan, maka dia akan bertemu Allah di hari kiamat tanpa ada hujjah baginya.” Maka, kutipan Hadis di atas sebenarnya diarahkan kepada mereka yang keluar dari ketaatan terhadap seorang imam. Itu artinya, mati jahiliyah yang dimaksud bukan diarahkan kepada orang yang tidak berbaiat kepada seorangan khalifah, melainkan kepada orang yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah.


Hal ini diperkuat dengan Hadis Ibnu Abbas r.a, “Barang siapa yang membenci sesuatu dari pemimpinnya maka hendaknya dia bersabar, karena siapapun yang keluar sejengkal dari (ketaatan terhadap) pemimpinnya dan mati dalam keadaan itu maka dia mati jahiliyah.” (HR. al-Bukhari). Kata ‘fatama ‘alaihi’ (kemudian mati dalam keadaan itu [keluar dari ketaatan]) dalam Hadis tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah orang yang membangkan terhadap imam. Dan juga Hadis Abi Hurairah r.a, “Barang siapa yang keluar dari ketaatan dan memisah dari jamaah kemudian mati, maka dia mati jahiliyah.” (HR. Muslim).


Walhasil, konsep khilafah Hizbit Tahrir memang lebih kaku dari konsep Ahlusunah. Ahlusunah memiliki konsep ideal tapi juga bisa menjadi longgar. Dengan khilafiyah furu’iyah yang beragam, dapat menjadi solusi jika memang relita yang ada tidak memungkinkan.


Terlepas dari itu semua, coba Anda bayangkan jika konsep khilafah ditegakkan namun dengan akidah mereka, maka bisa jadi setelah khilafah tegak, mereka akan menemukan umat yang tak sepaham dengan mereka. Ingat! Taqiyuddin an-Nabhani dengan tegas menyatakan bahwa Ahlusunah hakikatnya adalah Jabariyah (As-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz I, hal, 53-54). Hal itu bukan berarti kita tidak berusaha untuk merealisasikan penerapan ajaran Islam secara sempurna. Namun, yang jelas kita berusaha untuk syariat Islam ala Ahlusunah.dengan akidah Ahlusunah dan tentu saja cara yang sesuai dengan Ahlusunah. Wallahu a’lam.

(Penulis : Ahmad Majdub)

Rabu, 09 September 2015

Pelajar NU NGT

Hati Hati HTI

Awalnya gerakan yang selalu menggembar-gemborkan isu khilafah ini hanya mentargetkan 13 tahun untuk merealisasikan konsep politiknya. Namun, semenjak dirintis, tepatnya pada 1953, belum satu negarapun di dunia yang mengibarkan bendera khilafah mereka. Waktu pun diperhitungkan kembali. Kali ini mereka menaruh limit hingga tiga dasarwarsa. Apa boleh buat, perhitungan tinggallah perhitungan. Hingga saat ini, tepatnya ulang tahun Hizbut Tahrir yang ke-56, masih belum ada kabar baik, kapan khilafah mereka diresmikan. Justru, keberadaan Hizbut Tahrir selalu dauber-uber oleh pemerintah setempat.


Tanggal 12 Agustus 2007, Hizbut Tahrir baru manginjak tahap kedua dari tiga tahap proses perubahan yang mereka konsepkan, yakni tahap berinteraksi dengan umat (marhalah tafa’ul ma’al-ummah) yang selanjutnya akan disusul dengan tahap penerimaan kekuasaan (istislamul-hukmi). Mereka manandai keberhasilan tersebut dengan menyelenggarakan konferensi Khilafah Internasional di Gelora Bung Karno Jakarta.


Satu hal yang mungkin dianggap lucu dari sepak terjang pergerakan ini, di mana gerakan yang selalu mengkafirkan, menghina, bahkan membenci sepenuh hati terhadap konsep demokrasi, justru bisa mengibarkan benderanya di negeri yang menjunjung tinggi asas demokrasi. Coba lihat, di mana Hizbut Tahrir berani dan dapat menyelenggarakan acara sebesar itu di negara Islam lain? Seharusnya mereka banyak bersyukur kepada demokrasi Indonesia. Mereka tumbuh subur dari demokrasi yang mereka benci. Tapi sayang mereka justru memilih tumbuh menjadi benalu.


Entah, bodohnya Indonesia atau memang ia dibodohi HTI. Bagaimana bisa, bentuk Negara kesatuan yang telah diberi harga mati mengizinkan organisasi politik lain untuk dapat mengibarkan bendera pendudukan di negaranya. Apakah ia tidak membaca sejarah kelam pergerakan tersebut? Apakah ia tidak pula memperhatikan konsep ideologi teologis dan politisnya? Nestapa, bila kita tidak menganal siapa mereka.


Untuk itu, tidak ada salah kiranya bila kami turut menasihati agar segenap sepak terjang pergerakan ini terus dipantau dan diwaspadai.  Perlu diwaspadai karena Hizbut Tahrir ditengarai mengusung ide-ide dan wacana menyimpang yang meresahkan umat Islam. Dari berbagai ide dan wacana tersebut, setidaknya terdapat tiga klasifikasi pembahasan yang perlu diperhatikan:


Pertama, akidah. Bila berbicara tentang akidah Hizbut Tahrir, maka akan dihadapkan pada berbagai penyimpangan yang kompleks, utamanya yang berkenaan dengan masalah qadha’ dan qadar. Pandangan Hizbut Tahrir mengenai qadha’ dan qadar sama persis dengan aliran sesat Muktazilah. Lebih dari itu, mereka meragukan kepercayaan terhadap qadha’ dan qadar sebagai bagian dari rukun iman.


Aliran ini juga menyatakan dengan tegas bahwa meraih petunjuk dan terjerumus dalam kesesatan adalah murni hasil dari tindakan manusia. Tidak ada intervensi Tuhan sedikitpun. Petunjuk dan kesesatan, menurut mereka, adalah pilihan hidup yang ada pada area yang dikuasai oleh setiap pribadi. Karenanya, mereka dapat menentukan sendiri jalan kehidupan di antara keduanya. Dan, dari sanalah nantinya Tuhan akan memberi balasan bagi setiap tindakan.


Di samping itu, mereka juga banyak meragukan akidah-akidah yang telah banyak diyakini oleh mayoritas umat Islam, utamanya terhadap hal-hal yang berbau mistik dan gaib, seperti keyakinan akan siksa kubur, keyakinan adanya pertanyaan Malaikat Munkar-Nakir, keyakinan akan turunnya Isa di akhir zaman, keyakinan akan fitnah Dajjal, keyakinan atas syafaat Nabi SAW di padang Mahsyar, dan lain sebagainya.

Bagi mereka, segenap bentuk kepercayaan di atas tidak wajib diyakini karena berangkat melalui riwayat ahad. Namun, mereka tidak pernah mau mengkaji ke-mutawatir-an Hadis-Hadis tersebut secara ma’nawi. Sehingga, penyimpangan-penyimpangan tadi hampir manjadi ciri khas akidah para syabab Hizbut Tahrir.


Kedua, syari’ah. Meskipun bergerak di bidang politik, Hizbut Tahrir juga banyak mengeluarkan fatwa-fatwa yang ditengarai provokatif. Berbagai fatwa tersebut dapat disimak melalui edaran-edaran yang mereka sebarkan, seperti al-Khilafah, al-Islam, dan al-Wai’e atau fatwa-fatwa yang telah ditulis oleh pendiri gerakan ini, an-Nabhani, melalui berbagi karyanya.


Dalam al-Khilafah edisi Rabiul Awal Tahun 1416, Hizbut Tahrir sempat mengharamkan tawasul, baik itu tawasul melalui para nabi atau orang-orang saleh. Bukan hanya itu, peringatan Maulid Nabi SAW turut diharamkannya, persis seperti mainstream gerkan Wahabi.


Di antaranya lagi, mereka menghalalkan berciuman dengan lain jenis meskipun dengan syahwat dan tanpa satir (penghalang). Fatwa ini memang terbilang nyeleneh dan menantang. Namun, para syabab Hizbut Tahrir mengakui akan keberadaan fatwa tersebut, kecuali syabab Hizbut Tahrir Indonesia yang enggan dan menganggap fatwa tersebut tidak mewakili.


Dalam edaran 08 Muharram 1390 H, mulanya mereka hanya menghalalkan berciuman dan bersalaman antara laki-laki dan perempuan (bukan mahram) yang baru tiba dari perjalanan. Itupun masih dibatasi dengan tanpa disertai syahwat. Setelah itu, pada edaran berikutnya, tepatnya tertanggal 24 Rabiul Awal 1390 H, mereka menfatwakan bolehnya bersalaman dan berciuman secara mutlak. Dalam fatwa tersebut turut ditampilan berbagai alasan logis sebagai landasan atas ijtihad ngawur-nya.


Meskipun fatwa halalnya berciuman tidak pernah dilontarkan oleh an-Nabhani, setidaknya ia merupakan biang dari penyimpangan yang ada. Manhaj istinbatul-ahkam (metodologi penggalian hukum) an-Nabhani telah mengobsesi para syabab Hizbut Tahrir untuk melakukan ijtihad sendiri. Lebih-lebih an-Nabhani secara pribadi telah mengaku sebagai mujtahid dan banyak menganjurkan segenap pengikutnya untuk berani berijtihad.


Dalam Nidzamul-Ijtima’i Fil-Islam, an-Nabhani telah berijtihad akan bolehnya bersalaman antara laki-laki dan perempuan. Pendapat tersebut lebih diperkokoh melalui kitab asy-Syakhshiyah al-Islamiyah-nya dengan menampilkan penjang lebar sistematika penggalian hukum yang ia tempuh. An-Nabhani juga menyebut pendapat yang mengharamkan jabat tangan jauh dari maentream syariah.


Di sela-sela pemaparannya itu, an-Nabhani menambahkan bahwa tangan bukanlah termasuk aurat bagi wanita. Wacana ini berangkat dari pemahaman an-Nabhani terhadap ayat “aulamastumun-nisa’” yang menurutnya hanya mengindikasikan hukum batalnya wudu bukan hukum haramnya bersentuhan.


Meskipun bersalaman termasuk masalah furu’iyah dan masih dalam linkaran mazhab empat, namun metodologi yang digunakan oleh ulama mazhab tidak sama dengan proses penggalian hukum yang telah ditempuh an-Nabhani. Sehingga, ketika konsep mereka dikembangkan tidak sampai melahirkan hukum-hukum yang ngawur seperti yang telah terjadi pada mazhab Hizbut Tahrir. Perbedaan manhaj inilah yang selanjutnya melahirkan berbagai penyimpangan hukum syariah di tubuh organisasi ini.


Ketiga, siyasah. Politik merupakan perhatian utama bagi gerakan Hizbut Tahirir. Misi utama dari politiknya adalah dapat merebut kekuasaan dari pimpinan yang sah dengan bertamengkan isu khilafah. Kelompok ini, nyaris mengakfirkan segenap sistem politik yang ada saat ini. Sehingga, politik Hizbut Tahrir lebih tampak berposisi sebagai oposisi radikal. Mereka mengharuskan konsep perpolitikannya (al-Khilafah ‘ala Manhaji Hizbit-Tahrir) direlisasikan dengan atas nama Islam. Padahal politik dan sistem pemerintahan dalam Islam merupakan bagian dari permasalahan furu’iyyah yang cederung fleksibel dan ramah.


Radikelisme Hizbut Tahrir juga terbukti dari berbagai sepak terjang pendiri gerakan tersebut dalam menghadapi berbagai sistem pemerintahan Islam selama ini. An-Nabhani mengajarkan kepada para aktivis Hizbut Tahrir bahwa cara dakwah yang harus mereka tempuh adalah dengan membuat opini buruk tentang pemerintah dan disebarluaskan ke segenap masyarakat.


An-Nabhani berkata, “…semestinya aktivitas Hizbut Tahrir yang paling menonjol adalah aktivitas menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan umat dalam semua aspek, baik menyangkut cara penguasa tersebut mengurus kemaslahatan, seperti pembangunan jembatan, pendirian rumah sakit, atau cara melaksanakan aktivitas yang menyebakan penguasa tersebut mampu melaksanakan (urusan umat) seperti pembentukan kementrian dan pemilihian wakil rakyat. Yang  dimaksud pengauasa di sini adalah pemerintah.”


Kemudian an-Nabhani melanjutkan, “Oleh karena itu, kelompok berkuasa tadi seluruhnya harus diserang, baik menyangkut tindakan maupun pemikiran politiknya.”


Setelah kita menyimak beberapa ide dan wacana yang mereka usung, meskipun tidak kami sebutkan semua karena ketebatasan tempat, setidaknya cukup untuk memberikan alasan kenapa gerakan ini perlu diwaspadai. Selanjutnya pembaca yang lebih paham mengenai tindakan apa yang harus ditempuh.

(Penulis: Ahmad Majdub)

Minggu, 06 September 2015

Aktivis Pinggiran

Delapan Juli 2012


Delapan Juli 2012. Untuk yang pertama kalinya kami melangkahkan kaki di Annahdliayah tercinta ini. Awalnya Kami tak saling kenal. Satu  sama lain, hingga… hari demi hari kami lalui bersama. Hingga… jari-jemari mengikat persahabatan kita.



Kelas satu dan dua kita lalui begitu cepat. Hingga  aku hampir lupa seragam warna apa yang sering kita pakai senin itu, aku lupa kerudung warna apa yang dulu membalut kepala kita, atau celana biru yang bagaimana yang sering kita pakai hingga aku lupa kapan terakhir kali aku mencucinya. aku lupa bagaimana kali pertama kita bersua untuk saling setia menghotmati guru-guru kita. Aku tak paham dengan paragraf macam apa harus kumulai suatu baris untuk menyusun ulang kenangan tentang kita yang kini hampir sirna, Aku tak tahu bila saat itu tiba, apa kita akan sempat menafsirkan tiap jejak yang kita tinggalkan di setiap jengkal tanah Annahdliyah, tanah yang pernah menyimak tiap jengkal langkah kita. Yang di sana kita Banyak menerima pujian dan sindiran, hingga kita tak perlu banyak kata untuk mengungkap cerita sebagai bukti, sebab tatapan air mata kita adalah pernyataan paling jujur dari hati sanubari. Dipandu waktu, Hingga pada akhirnya kita masuk ke kelas tiga. kita mencoba menyusun kembali kata-kata yang dulu tak sempat terurai, Mungkin, tak sempat juga kita ungkap, Disini, di sebuah pesantren yang begitu santun mengajari kita tentang bagaimana cara bersopan santun yang baik. Bila suatu saat kau lintasi pondok tercintamu ini, ingatlah bahwa dulu disini kita pernah bersama dalam duka maupun lara. atau bila kau sempat bertandang kesini, di tempat dimana kita pernah saling menyerahkan tatapan lara. Lihatlah dan baca bahwa dipohon palem itu terpasung kenangan kita. Hari ini, akan menjadi saksi bisu betapa detak jantung kita kelak akan mewiridkan rasa Rindu. Rindu daun bambu tempat kita bernaung menyisipkan pilu, betapa setiap huruf dari perbincangan kita adalah kelahiran Masa lalu. kuharap kita kelak masih tetap ingat bahwa ditempat itu, sebuah tepian jalan sungai bernama jembatan loka. ada kisah yang belum kita rampungkan, kisah yang kelak akan kita wariskan kepada anak-cucu. sebab kita adalah tata buku masa lalu, sebersit sejarah yang nanti patut di baca oleh anak cucu.
Di penghujung kelas tiga, kita melaluinya dengan canda dan tawa. Tanpa kita menciptakan duka di tengah-tengahnya. Sampai-sampai guru-guru menaruh harapan yang besar kepada kita. Kita baru menyadari, bahwa kita adalah murid-murid yang sangat dibangga-banggakan oleh mereka. Sekarang, kelak ataupun nanti. Walau terkadang kita lebih sering membuat mereka kecewa. Tapi, mereka tak sama sekali mengurangi rasa kasih sayang mereka kepada kita. Hingga terkadang, kita terlena oleh kasih sayang dan pujian mereka. Kini kita baru sadar bahwa rasa kesombongan itu hadir menjelma menjadi sebuah kecongkakan yang tak mungkin termaafkan. Ah… lagi-lagi kita membuat kesalahan. Harus dengan apalagi kita menebus semua kesalahan itu, itu dan itu. Tanpa sedikitpun kita mau merubah itu.
Untuk abah dan ibu nyai. maafkan kami. Sampai kini, dari pertama kami menginjakkan tanah bumi Annahdliyah tercinta ini. kami masih tenggelam dalam keangkuhan batu karang. kami lebih sibuk bercanda dan tertawa dari pada mencerna beribu-ribu makna. Abah… ibu…. Semenjak itu kami  sudah tak tahan menanggung kecemasan ini, yang meleleh sebagai airmata. kami masih ingat jelas saat kau menuangkan ilmu kepada kami, yang kini selalu mengiang. Bahwa engkau tak pernah mengharapkan balasan untuk apa yang telah kau berikan.

By; Sabila Rahmatika (Alumni)