Minggu, 06 September 2015

Aktivis Pinggiran

Delapan Juli 2012


Delapan Juli 2012. Untuk yang pertama kalinya kami melangkahkan kaki di Annahdliayah tercinta ini. Awalnya Kami tak saling kenal. Satu  sama lain, hingga… hari demi hari kami lalui bersama. Hingga… jari-jemari mengikat persahabatan kita.



Kelas satu dan dua kita lalui begitu cepat. Hingga  aku hampir lupa seragam warna apa yang sering kita pakai senin itu, aku lupa kerudung warna apa yang dulu membalut kepala kita, atau celana biru yang bagaimana yang sering kita pakai hingga aku lupa kapan terakhir kali aku mencucinya. aku lupa bagaimana kali pertama kita bersua untuk saling setia menghotmati guru-guru kita. Aku tak paham dengan paragraf macam apa harus kumulai suatu baris untuk menyusun ulang kenangan tentang kita yang kini hampir sirna, Aku tak tahu bila saat itu tiba, apa kita akan sempat menafsirkan tiap jejak yang kita tinggalkan di setiap jengkal tanah Annahdliyah, tanah yang pernah menyimak tiap jengkal langkah kita. Yang di sana kita Banyak menerima pujian dan sindiran, hingga kita tak perlu banyak kata untuk mengungkap cerita sebagai bukti, sebab tatapan air mata kita adalah pernyataan paling jujur dari hati sanubari. Dipandu waktu, Hingga pada akhirnya kita masuk ke kelas tiga. kita mencoba menyusun kembali kata-kata yang dulu tak sempat terurai, Mungkin, tak sempat juga kita ungkap, Disini, di sebuah pesantren yang begitu santun mengajari kita tentang bagaimana cara bersopan santun yang baik. Bila suatu saat kau lintasi pondok tercintamu ini, ingatlah bahwa dulu disini kita pernah bersama dalam duka maupun lara. atau bila kau sempat bertandang kesini, di tempat dimana kita pernah saling menyerahkan tatapan lara. Lihatlah dan baca bahwa dipohon palem itu terpasung kenangan kita. Hari ini, akan menjadi saksi bisu betapa detak jantung kita kelak akan mewiridkan rasa Rindu. Rindu daun bambu tempat kita bernaung menyisipkan pilu, betapa setiap huruf dari perbincangan kita adalah kelahiran Masa lalu. kuharap kita kelak masih tetap ingat bahwa ditempat itu, sebuah tepian jalan sungai bernama jembatan loka. ada kisah yang belum kita rampungkan, kisah yang kelak akan kita wariskan kepada anak-cucu. sebab kita adalah tata buku masa lalu, sebersit sejarah yang nanti patut di baca oleh anak cucu.
Di penghujung kelas tiga, kita melaluinya dengan canda dan tawa. Tanpa kita menciptakan duka di tengah-tengahnya. Sampai-sampai guru-guru menaruh harapan yang besar kepada kita. Kita baru menyadari, bahwa kita adalah murid-murid yang sangat dibangga-banggakan oleh mereka. Sekarang, kelak ataupun nanti. Walau terkadang kita lebih sering membuat mereka kecewa. Tapi, mereka tak sama sekali mengurangi rasa kasih sayang mereka kepada kita. Hingga terkadang, kita terlena oleh kasih sayang dan pujian mereka. Kini kita baru sadar bahwa rasa kesombongan itu hadir menjelma menjadi sebuah kecongkakan yang tak mungkin termaafkan. Ah… lagi-lagi kita membuat kesalahan. Harus dengan apalagi kita menebus semua kesalahan itu, itu dan itu. Tanpa sedikitpun kita mau merubah itu.
Untuk abah dan ibu nyai. maafkan kami. Sampai kini, dari pertama kami menginjakkan tanah bumi Annahdliyah tercinta ini. kami masih tenggelam dalam keangkuhan batu karang. kami lebih sibuk bercanda dan tertawa dari pada mencerna beribu-ribu makna. Abah… ibu…. Semenjak itu kami  sudah tak tahan menanggung kecemasan ini, yang meleleh sebagai airmata. kami masih ingat jelas saat kau menuangkan ilmu kepada kami, yang kini selalu mengiang. Bahwa engkau tak pernah mengharapkan balasan untuk apa yang telah kau berikan.

By; Sabila Rahmatika (Alumni)

Aktivis Pinggiran

About Aktivis Pinggiran

Author Description here.. Nulla sagittis convallis. Curabitur consequat. Quisque metus enim, venenatis fermentum, mollis in, porta et, nibh. Duis vulputate elit in elit. Mauris dictum libero id justo.

Subscribe to this Blog via Email :