Selasa, 19 April 2016

Aktivis Pinggiran

Prof. Dr Hj. Ismawati, M.Ag, Kader IPPNU yang Istiqomah

Mengawali dengan do'a. Itulah yang sampai saat ini dilakukan oleh Prof. Dr. Hj. Ismwati, M.Ag. Di usiannya sudah tak uda lagi, setiap hari ketua PW Muslimat NU Jawa Tengah ini berharap agar dirinya selalu dibimbing dan dilindungi Alloh SWT.



Wanita kelahiran Kediri 5 Juli 1948 ini menghabiskan masa muda dan mengenyam pendidikan di Jawa Timur, tepatnya di Kediri dan Malang. Ayahnya, KH. Muhdi Zuhdi seorang tokoh NU (bendahara Maarif Kediri saat itu) dan alumnus Ponpes Tebuireng sangat sadar akan penting nya pendidikan bagi putrinya ini. Bu Is sudah menikmati bangku sekolah  Rakyat Jagalan 3 Kediri atas arahan ayahnya. Hingga, tingkat-tingkat selanjutnya yaitu PGAN Kediri, PGAN Putri Malang hingga IAIN Sunan Ampel  Cabang Kediri dan meperoleh gelar Dra pada tahun 1973 pun tak lepas dari saran ayahnya.

Kerena dulu sekolah dan aktifitas keorganisasiannya cukup lama di Jawa Timur, hingga kini ia masih punya banyak relasi di Jawa Timur.”banyak, Mas. Teman-teman di Jawa Timur, ini juga teman saya.” Ujarnya menunjuk calon DPD Prof. Dr. Hj. Istibsjaroh, BA, SH, MA. Ada juga disis barat jatim, yaitu Hj. Cicik Mursyida mantan DPRD Bojonegoro dan penceramah.

Sejak muda bu IS sudah senang ber-organisasi. Organisasiny dimulai dari PC IPPNU Malang 1965. Saat sedang ramai-ramainya G 30 S/PKI itu ia juga merangkap sebagai ketua KOPRI Kediri. Ia juga perintis pertama Koppri, pasca ia mengikuti Kongres PMII di Makasar. Karena masih rintisan dan belu ada pengurus besar, saat pelantikan yang melantiknya  sebagai ketua langsung ketua PB PMII saat itu. Setelah di IPPNU ia aktif di jajaran Muslimat NU kota Malang, menjabat sebagai ketua sejak 1965 hingga 1970.
Aktivis Pinggiran

KH. Mohammad Hasyim Asy'ari, Pendiri NU


Biasa disebut KH. Hasyim Ashari beliau dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 atau menurut penanggalan arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur dan beliau kemudian tutup usia pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebu Ireng, Jombang.

 KH. Hasyim Asy'ari merupakan pendiri Nahdlatul Ulama yaitu sebuah organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. KH. Hasyim Asyari merupakan putra dari pasangan Kyai Asyari dan Halimah, Ayahnya Kyai Ashari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH. Hasyim Ashari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH. Hasyim Ashari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). dari Ayah dan Ibunya KH. Hasyim Ashari mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh.

Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH. Hasyim Ashari memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil.

KH. Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo. Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan.

Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.

 Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi..

Logo Nahdlatul Ulama
Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.

Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.

Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.

Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil. Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak.

Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.

Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam. Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas.

KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.

Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana.

Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.

Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu. Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia.

Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.

Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu.

Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.

Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).

Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.

Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.

Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.

Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA
Advertisement
(Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.

Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi).

Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.

Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudh At Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru. Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam.

Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam.

Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.

Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab.

Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam.

Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan.

Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah. Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz.

Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama. Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya.

Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia. Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional.

Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik. Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.

Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya.

Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Pendirian Nahdlatul Ulama (NU)
Biografi KH Hasyim Ashari

Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah. Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.

Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.

Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata. Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati. Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya.

Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”.

Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru. ”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.

Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.

Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern.

Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah.

Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912). Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab.

Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini. Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya Kyai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).

Sumber Tulisan : http://ipnuippnu-online.blogspot.co.id
Aktivis Pinggiran

Peringatan Harlah NU ke-93, IPNU-IPPNU MTs NU-MA NU

Malang, IPNU-IPPNU Online. Pimpinan Komisariat Ikatan Pelajar NU (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU) MTs NU - MA NU akan mengadakan peringatan Harlah NU yang ke-93.

Kegiatan yang akan berlangsung mulai Kamis (23/04) ini akan dimulai dengan Upacara Bendera yang akan melibatkan seluruh keluarga besar Yayasan PPAI An-Nahdliyah baik dari kalangan santri,mahasiswa maupun alumni. Serta akan dibuka langsung oleh ketua Yayasan PPAI An-Nahdliyah.

“Kegiatan ini, merupakan program kerja awal IPNU-IPPNU dalam mensinergikan semangat rekan-rekanita,” kata ketua IPPNU, Fio.

Kegiatan ini akan di selenggarakan mulai hari kamis  (23/04) dan mencapai puncaknya pada hari Ahad (25/04) dengan mengadakan pengajian yang akan menghadirkan Tokoh lintas pesantren.

IPNU-IPPNU dalam peringatan Harlah NU ke-93 kali ini menggelar beberapa kegiatan. Seperti, Training of Trailer(TOT), Motivation of Learning dan Pelatihan Jurnalistik untuk mengembangkan kreativitas pelajar-pelajar NU dalam mengasah bakat dalam penulisan berita, karya ilmiah, artikel dan lain-lain.

Pelatihan jurnalistik yang di adakan IPNU/IPPNU ini kan menghadirkan pemateri dari Redaksi NU Online. Yang namanya tak asing lagi yaitu bapak R. Ahmad Nur Kholis, S. Pd. I.

Ketua PAC IPNU Karangploso mengapresiasi panitia yang telah menggagaskan kegiatan ini. “Semoga pelajar NU Gondanglegi ke depannya bisa lebih bermanfaat bagi agama bangsa dan negara,” tuturnya.

Fio menambahkan, untuk program kegiatan IPNU-IPPNU kali ini akan dilaksanakan dan diikuti oleh semua keluarga besar Yayasan PPAI An-Nahdliyah.(Red/Al-Majdub).

Minggu, 17 April 2016

Aktivis Pinggiran

Hj. Nyai Umroh Mahfudzoh, Srikandi Pejuang IPPNU


Dilahirkan 4 Februari 1936 di kota Gresik, Jawa Timur, Umroh mengawali pendidikan dasar di kota kelahirannya. Sempat berhenti sekolah hingga tahun 1946 karena clash II, Umroh melanjutkan ke Madrasah Ibtidaiyah NU di Boto Putih, Surabaya. Dilahirkan dari pasangan K.H. Wahib Wahab dan Hj. Siti Channah, Umroh tumbuh dan dewasa di lingkungan NU. Sebagai cucu pendiri NU, K.H. Abdul Wahab Chasbullah, masa kecil Umroh banyak dilalui di lingkungan pesantren, khususnya pada masa liburan yang banyak dihabiskan di Tambak Beras, Jombang, tempat kelahiran ayahnya. 
Sebagai anak sulung dari lima bersaudara, sejak kecil Umroh dididik untuk bisa hidup mandiri. Hasrat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah sekaligus mewujudkan impian merantaunya terpenuhi ketika diterima sebagai siswa SGA Surakarta. Ketika partai-partai politik meluaskan sayapnya pada pertengahan 50-an, Umroh mulai menerjunkan diri sebagai Seksi Keputrian Pelajar Islam Indonesia (PII) -organisasi pelajar afiliasi partai Masyumi- ranting SGA Surakarta. Namun, sejak berdirinya NU sebagai partai politik sendiri tahun 1952, Umroh mulai berkenalan dengan organisasi-organisasi di lingkungan NU.
Sembari mengajar di Perguruan Tinggi Islam Cokro, Surakarta, Umroh yang nyantri di tempat Nyai Masyhud mulai menerjunkan diri sebagai wakil ketua Fatayat NU cabang Surakarta. Semangat Umroh yang menyala-nyala membawa pada kesadaran akan perlunya sebuah organisasi pelajar yang khusus menghimpun putra-putri NU. 
Berdirinya IPNU yang khusus menghimpun pelajar-pelajar putra pada awal tahun 1954 membuat keinginan Umroh untuk membuat organisasi serupa khusus untuk para pelajar putri semakin menggebu-gebu. Gagasannya dituangkan lewat diskusi intensif dengan para pelajar putri NU di Muallimat NU dan SGA Surakarta yang sama-sama nyantri di tempat Nyai Masyhud. Kegigihan Umroh memperjuangkan pendirian IPNU-Putri (kelak berubah menjadi IPPNU) membawanya duduk sebagai Ketua Dewan Harian (DH) IPPNU. DH IPPNU adalah organ yang bertindak sebagai inkubator pendirian sekaligus pelaksana harian organisasi IPPNU.
Aktivitas di IPPNU yang tidak begitu lama diisi dengan sosialisasi dan pembentukan cabang-cabang IPPNU, khususnya di Jawa. Umroh juga tampil sebagai juru kampanye partai NU pada pemilu 1955. Tidak genap setahun menjabat Ketua Dewan Harian, Umroh meninggalkan Surakarta untuk menikah dengan M. Tolchah Mansoer, Ketua Umum PP IPNU pertama. Meskipun menetap di Yogyakarta, Umroh tidak pernah melepaskan perhatiannya terhadap organisasi yang ikut dia lahirkan. Kedudukan Dewan Penasehat PP IPPNU yang dipegang hingga saat ini, membuatnya tidak pernah absen dalam setiap perhelatan nasional yang diselenggarakan IPPNU. Riwayat organisasi Umroh berlanjut pada tahun 1962 sebagai seksi Sosial PW Muslimat NU DIY.
 Kedudukan ini mengantarkan Umroh sebagai Ketua I Badan Musyawarah Wanita Islam Yogyakarta hingga tahun 1987. Kesibukan keluarga tidak mengendurkan hasratnya untuk melanjutkan ke Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Pendidikan strata-1 diselesaikan dalam waktu enam tahun sambil aktif sebagai Wakil Ketua Pengurus Poliklinik PW Muslimat NU DIY. Sementara itu, perhatian di bidang sosial disalurkan dengan menjabat sebagai Ketua Yayasan Kesejahteraan Keluarga (YKK) yang membidangi kegiatan-kegiatan di bidang peningkatan kesejahteraan sosial di wilayah Yogyakarta.
 
Jabatan Ketua PW Muslimat NU DIY diemban selama dua periode berturut-turut sejak tahun 1975. Kesibukan ini tidak menghalangi aktivitas sebagai Seksi Pendidikan PERSAHI (Pendidikan Wanita Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) dan Gabungan Organisasi Wanita wilayah Yogyakarta. Naluri politik yang tersimpan selama belasan tahun ternyata tidak bisa dipendam Umroh begitu saja. Aktivitas sebagai bendahara DPW PPP mengantarkannya terpilih sebagai anggota DPRD DIY periode 1982-1987. Karir politiknya terus meningkat dari Wakil Ketua menjadi Pjs. Ketua DPW PPP DIY. Jabatan terakhir ini membawa Umroh ke Jakarta sebagai anggota DPR RI dari FPP selama dua periode. 
Umroh pernah menjabat sebagai Ketua Wanita Persatuan Pusat, organisasi wanita yang bernaung di bawah PPP. Sebagai anggota dewan, Umroh tercatat beberapa kali mengadakan kegiatan internasional diantaranya muhibah ke India, Hongaria, Perancis, Belanda, dan Jerman. 

Domisili di Jakarta memudahkan Umroh melanjutkan aktivitas ke-NU-an sebagai Ketua Departemen Organisasi PP Muslimat NU, berlanjut sebagai Ketua III sampai sekarang. Sempat menikmati pensiun pasca pemilu 1997, Partai Kebangkitan Bangsa yang didirikan oleh Pengurus Besar NU mendorong Umroh terjun kembali ke dunia polittik sebagai salah satu ketua. Umroh yang berdomisili di Kompleks Kolombo 21, Yogyakarta, saat ini tercatat sebagai anggota DPR RI hasil pemilu 1999 dari Fraksi Kebangkitan Bangsa.
Sesepuh pendiri Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Hj Umroh Machfudzoh meninggal dunia pada Jumat (6/11/2009) pagi sekitar pukul 6.45 WIB di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Almarhumah meninggal pada usia 73 tahun. Cucu KH Abdul Wahab Chasbullah ini akan dimakamkan sore sekitar pukul 15.30 WIB di pemakaman dekat kediaman Komplek Pondok Pesantren Sunni Darussalam, Tempelsari, Manguwoharjo, Sleman, Yogyakarta.
sejarah berdirinya :
Bermula dari perbincangan ringan yang dilakukan oleh beberapa remaja putri yang sedang menuntut ilmu di Sekolah guru Agama (SGA) Surakarta, tentang keputusan Muktamar NU ke-20 di Surakarta. Maka perlu adanya organisasi pelajar di kalangan Nahdliyat. Dalam keputusan ini di kalangan NU, Muslimat NU, Fatayat NU, GP. Ansor, IPNU dan Banom NU lainnya untuk membentuk tim resolusi IPNU putri pada kongres I IPNU di Malang Jawa Timur, selanjutnya disepakati dalam pertemuan tersebut bahwa peserta putri yang akan hadir di kongres Malang di namakan IPNU putri.

Dalam suasana kongres ternyata keberadaan IPNU putri nampaknya masih diperdebatkan dengan secara alot. Semula direncanakan secara administratif hanya menjadi departemen di dalam tubuh organisasi IPNU. Sementara hasil negosiasi dengan pengurus teras PP IPNU telah membentuk semacam kesan eksklusivitas IPNU hanya untuk pelajar putra. Melihat hasil tersebut maka pada hari kedua kongres, peserta putri yang hanya diwakili lima daerah (Yogyakarta, Surakarta, Malang, Lumajang, dan Kediri) terus melakukan konsultasi dengan dua jajaran di pengurus teras Badan Otonom NU yang menangani pembinaan organisasi pelajar yaitu PB Ma’arif (saat itu dipimpin Bpk. KH. Syukri Ghozali) dan ketua PP Muslimat NU (Mahmudah Mawardi). Maka dari pembicaraan selama beberapa hari telah membuat keputusan sebagai berikut:
1. Tanggal 28 Februari – 5 Maret
2. Pembentukan Organisasi IPNU putri secara organisatoris dan secara administratif terpisah dengan IPNU
3. Tanggal 2 maret 1995M/8 Rajab 1374 H dideklarasi8kan sebagai hari kelahiran IPNU putri
4. Untuk menjalankan roda organisasi dan upaya pembentukan pembentukan cabang selanjutnya ditetapkan sebagai ketua yaitu UMROH MAHFUDHOH dan sekretarisnya bernama SYAMSIYAH MUTHOLIB.
5. PP IPNU putri berkedudukan di Surakarta Jawa Tengah.
6. Memberitahukan dan memohon pengesahan resolusi pendirian IPNU putri kepada PB Ma’arif NU, kemudian PB Ma’arif NU menyetujui dengan merubah nama IPNU putri menjadi IPPNU(Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama)

PERJALANAN IPPNU DARI MASA KE MASA
Sejalan dengan adanya pelaksanaan konggres dari beberapa zaman ( Kemerdekaan, Orla, orba, Era reformasi) tentu mengalami berbagai peristiwa yang sangat menonjol dalam suatu keputusan kongres, dan dalam perjalanan IPNU dari masa ke masa antara lain :
1. Bulan Februari 1956 diadakan konferensi IPPNU di Surakarta
2. Tanggal 1-4 Januari 1957 pada muktamar IPNU di Pekalongan IPPNU ikut serta. Acara itu diisi olahraga dan juga menghasilkan lambang IPNU-IPPNU
3. Tanggal 14-17 Maret 1960 diadakan Konbes I di Yogyakarta, membicarakan tentang keorganisasian, kemahasiswaan, Pendidikan Islam serta bahasa Arab
4. Tahun 1964 dilaksanakan Konbes III bersama IPNU di Pekalongan, dengan menghasilkan :
a. Doktrin Pekalongan
b. Mengusulkan agar KH. Hasyim Asy’ari sebagai pahlawan
5. Tanggal 30 Agustus 1966 dalam konggres di Surabaya IPNU dan IPPNU memohon pada PBNU untuk menerimanya sebagai badan otonom
6. Tahun 1967 pada Muktamar NU di Bandung, resmilah IPPNU dimasukkan dalam PD/PRT NU sebagai badan otonom sampai sekarang
7. Pada perkembangan berikutnya nampak pemerintah juga tidak ingin mengambil resiko membiarkan dunia akademik terkontaminasi dengan unsur politik manapun, sehingga diberlakukan UU No. 8 tahun 1985 tentang keormasan khusus untuk organisasi ekstra pelajar adalah OSIS, selama itu IPPNU mengalami stagnasi pengkaderan dan PP didominasi oleh para aktivis yang usianya sudah melebihi batas. Maka pada konggres IX IPPNU di jombang tahun 1987, secara singkat telah mempersiapkan perubahan asas organisasi dan IPPNU yang kepanjanganya IKATAN PELAJAR PUTRI NAHDLATUL ULAMA telah berubah menjadi IKATAN PUTRI-PUTRI NAHDLATUL ULAMA.
8. Bulan Oktober 1990 pada Konbes IPPNU di lampung, menghasdilkan citra diri dan memantapkan PPOA IPPNU.
9. Pada konggres X IPPNU tahun 1991 di ponpes AL WAHDAH lasem jawa tengah, telah menguatkan independensi IPPNU dan IPNU yang merupakan organisasi terpisah.
10. Tanggal 10-14 juli 1996 di pesantren Al Musyaddidah garut Jabar mengadakan konggres XI IPPNU, yang menekankan usia kepemudaan di tubuh IPNU supaya sejajar dengan organisasi pemuda yang lain.
11. Konbes bulan september 1998 di Jakarta, menghasilkan rekomendasi yang samgat menonjol di era reformasi yaitu bahwa IPPNU menyambut baik pendirian PKB yang tidak menggumakan nama NU
12. Tanggal 22-25 Maret 2000, pelaksanaan konggres XII IPPNU di Makassar Ujung Pandang, telah mendeklarasikan bahwa IPPNU akan dikembalikanke basis kepelajaran dan wacana Gender.
13. Tanggal 18 –23 Juni 2003 kongres XIII IPPNU di asrama haji sukolilo Surabaya mengembalikan IPPNU kepada Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama
HUBUNGAN IPNU – IPPNU DAN ORMAS LAIN :
Kaitan IPNU – IPPNU dan NU, bahwa IPNU & IPPNU secara organisatoris merupakan badan otonom NU yang resmi tercantum pada Anggaran Rumah Tangga NU pasal 27 poin 6 bagian f, hasil mukatamar NU lirboyo jawa timur yang mana bahwa IPNU & IPPNU mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan badan otonom yang lain.
Hubungan IPNU dengan IPPNU, bahwa IPNU merupakan mitra kerja IPPNU, sedangkan hubungan IPNU & IPPNU dengan ormas lain , bahwa IPNU & IPPNU mempunyai kedudukan yang sejajar dengan ormas yang lain yang tergabung dalam satu wadah pembinaan dan pengembangan generasi muda (KNPI).
Di dunia pewayangan, dikenal seorang wanita tangguh yang bernama Srikandi. Bersama sang suami, Arjuna, keduanya berjuang bersama membela panji Pandawa. Sosok Srikandi itu, rasanya patut kita sematkan pada diri Umroh Machfudzoh, ketua Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) yang pertama.<>

Jalan cerita Umroh bersama sang suami, KH Tolchah Mansoer, sekilas mirip kisah Arjuna-Srikandi. Hanya saja pada waktu itu, keduanya bukan membela panji Pandawa, melainkan panji pelajar putera-puteri NU (IPNU-IPPNU). Di organisasi itulah mereka bertemu, berjuang bersama, dan akhirnya meneruskan menuju ke jenjang pelaminan.

Umroh Lahir di Gresik 4 Februari 1936 M dari pasangan KH Wahib Wahab (Menteri Agama ke 7 yaitu  1958 - 1962) dan Hj Siti Channah. Beliau adalah cucu dari KH Abdul Wahab Hasbullah (pendiri NU dan Rais Aam PBNU 1946 - 1971). Sebagai cucu pendiri NU, masa kecil Umroh banyak dilalui di lingkungan pesantren, khususnya pada masa liburan yang banyak dihabiskan di Tambak Beras, Jombang, tempat kelahiran ayahnya.

Sebagai anak sulung dari lima bersaudara, sejak kecil Umroh dididik untuk bisa hidup mandiri. Umroh mengawali pendidikan dasar di kota kelahirannya. Sempat berhenti sekolah hingga tahun 1946 karena clash II, Umroh kemudian melanjutkan ke MI NU di Boto Putih, Surabaya. Hasrat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah sekaligus mewujudkan impian merantaunya terpenuhi ketika diterima sebagai siswa SGA (Sekolah Guru Agama) Surakarta.

Ketika partai-partai politik meluaskan sayapnya pada pertengahan 50-an, Umroh mulai menerjunkan diri sebagai Seksi Keputrian Pelajar Islam Indonesia (PII) -organisasi pelajar afiliasi partai Masyumi- ranting SGA Surakarta. Namun, sejak berdirinya NU sebagai partai politik sendiri tahun 1952, Umroh mulai berkenalan dengan organisasi-organisasi di lingkungan NU.

Sembari mengajar di Perguruan Tinggi Islam Cokro, Surakarta, Umroh yang nyantri di tempat Nyai Masyhud (Keprabon Solo) mulai menerjunkan diri sebagai wakil ketua Fatayat NU Cabang Surakarta. Semangat Umroh yang menyala-nyala membawa pada kesadaran akan perlunya sebuah organisasi pelajar yang khusus menghimpun putra-putri NU.

Membidani Lahirnya IPPNU

Di mata kader IPPNU saat ini, Umroh merupakan sosok wanita inspiratif . “Beliau adalah inspirator bagi kami. Beliau adalah kebanggan kami,” kata Margaret Aliyatul, ketua IPPNU periode lalu kepada NU Online, saat wafatnya Umroh tahun 2009 lalu.

“Ini adalah hal yang luar biasa karena kondisi pada saat itu pasti lebih sulit dibandingkan saat ini, dan beliau bisa merealisasikan pendirian organisasi pelajar puteri dan kemudian berkembang menjadi organisasi nasional. Beliau adalah perintis dan kami tinggal melanjutkan saja,” lanjutnya.

Berdirinya IPNU yang khusus menghimpun pelajar-pelajar putra pada awal tahun 1954, memang tak lepas dari perjuangan Umroh dan kawan-kawan untuk membuat organisasi serupa khusus untuk para pelajar putri. Gagasannya dituangkan lewat diskusi intensif dengan para pelajar putri NU di Muallimat NU dan SGA Surakarta yang sama-sama nyantri di tempat Nyai Masyhud. Kegigihan Umroh memperjuangkan pendirian IPNU-Putri (kelak berubah menjadi IPPNU) membawanya duduk sebagai Ketua Dewan Harian (DH) IPPNU. DH IPPNU adalah organ yang bertindak sebagai inkubator pendirian sekaligus pelaksana harian organisasi IPPNU.

Aktivitas di IPPNU yang tidak begitu lama diisi dengan sosialisasi dan pembentukan cabang-cabang IPPNU, khususnya di Jawa. Umroh juga tampil sebagai juru kampanye partai NU pada pemilu 1955. Tidak genap setahun menjabat Ketua Dewan Harian, Umroh meninggalkan Surakarta untuk menikah dengan M. Tolchah Mansoer, Ketua Umum PP IPNU pertama.

Meskipun menetap di Yogyakarta, Umroh tidak pernah melepaskan perhatiannya terhadap organisasi yang ikut dia lahirkan. Kedudukan Dewan Penasehat PP IPPNU yang dipegang hingga saat ini, membuatnya tidak pernah absen dalam setiap perhelatan nasional yang diselenggarakan IPPNU.

Riwayat organisasi Umroh berlanjut pada tahun 1962 sebagai seksi Sosial PW Muslimat NU DIY. Kedudukan ini mengantarkan Umroh sebagai Ketua I Badan Musyawarah Wanita Islam Yogyakarta hingga tahun 1987.

Kesibukan keluarga tidak mengendurkan hasratnya untuk melanjutkan ke Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Pendidikan S-1 diselesaikan dalam waktu enam tahun sembari aktif sebagai Wakil Ketua Pengurus Poliklinik PW Muslimat NU DIY. Sementara itu, perhatian di bidang sosial disalurkan dengan menjabat sebagai Ketua Yayasan Kesejahteraan Keluarga (YKK) yang membidangi kegiatan-kegiatan di bidang peningkatan kesejahteraan sosial di wilayah Yogyakarta.

Berjuang Lewat Parpol

Jabatan Ketua PW Muslimat NU DIY diemban selama dua periode berturut-turut sejak tahun 1975. Kesibukan ini tidak menghalangi aktivitas sebagai Seksi Pendidikan Persahi (Pendidikan Wanita Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) dan Gabungan Organisasi Wanita wilayah Yogyakarta. Naluri politik yang tersimpan selama belasan tahun ternyata tidak bisa dipendam Umroh begitu saja. Aktivitas sebagai bendahara DPW PPP mengantarkannya terpilih sebagai anggota DPRD DIY periode 1982-1987.

Karir politiknya terus meningkat dari Wakil Ketua menjadi Pjs. Ketua DPW PPP DIY. Jabatan terakhir ini membawa Umroh ke Jakarta sebagai anggota DPR RI dari FPP selama dua periode. Umroh pernah menjabat sebagai Ketua Wanita Persatuan Pusat, organisasi wanita yang bernaung di bawah PPP. Sebagai anggota dewan, Umroh tercatat beberapa kali mengadakan kegiatan internasional diantaranya muhibah ke India, Hongaria, Perancis, Belanda, dan Jerman.

Domisili di Jakarta memudahkan Umroh melanjutkan aktivitas ke-NU-an sebagai Ketua Departemen Organisasi PP Muslimat NU, berlanjut sebagai Ketua III sampai sekarang. Sempat menikmati pensiun pasca pemilu 1997, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan oleh Pengurus Besar NU mendorong Umroh terjun kembali ke dunia politik sebagai salah satu anggota DPR RI hasil pemilu 1999.

Sesepuh pendiri Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Hj Umroh Machfudzoh meninggal dunia pada Jumat (6/11/2009) pagi sekitar pukul 06.45 WIB di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Almarhumah meninggal pada usia 73 tahun dan dimakamkan sekitar pukul 15.30 WIB di pemakaman dekat kediaman Komplek Pondok Pesantren Sunni Darussalam, Tempelsari, Manguwoharjo, Sleman, Yogyakarta.
Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/43039/srikandi-pejuang-nu