Jumat, 27 Agustus 2021

Pelajar NU NGT

Istilah Ulama dalam NU

Dalam Al-Qur’an, sebagaimana dise­butkan dalam Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an, kata ulama disebutkan dua kali dan kata ‘alim sebanyak 18 kali.

 

Kata ulama merupakan bentuk jamak dari ‘alim, yang artinya orang yang memiliki ilmu. Sebagai isti­lah, artinya orang yang ahli atau memiliki penge­tahuan ilmu agama Islam dan ilmu penge­tahuan kealaman (al-‘ulum al-kauniy­yah), yang dengan pengetahuannya ter­sebut memiliki rasa taqwa, takut, tunduk kepada Allah SWT. Meskipun istilah ulama berasal dari bentuk jamak dalam bahasa Arab, pemaknaannya dalam bahasa Indonesia tunggal.

Dalam Al-Qur’an, sebagaimana dise­butkan dalam Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an, kata ulama disebutkan dua kali dan kata ‘alim sebanyak 18 kali.

Penyebutan kata al-‘alim (dalam ben­tuk tunggal) semuanya mengacu ha­nya kepada Allah, tidak kepada selain-Nya. Penggunaan kata ini diiringi de­ngan penciptaan bumi dan langit serta hal-hal yang ghaib dan yang nyata. Ini mengindikasikan bahwa munculnya pe­ngetahuan manusia berbarengan de­ngan munculnya ciptaan-ciptaan Tuhan.

Dalam pandangan Syaikh Al-Baijuri dalam kitab Hasyiyah-nya, yang disebut alim itu adalah orang yang disifati pada dirinya keilmuan sekalipun dengan pe­ngetahuan pada suatu masalah saja, baik diperoleh dengan usaha belajar mau­pun ilham dari Allah (al-faydh al-ilahi) atau ilmu ladunni. Dalam pandang­annya yang lain, ada gelar ‘Allamah, ben­tuk kata dari alim lainnya, yang artinya sangat alim, yakni gelar yang ditujukan bagi orang yang meng­gabung­kan yang tersirat dan tersurat, menga­malkan pengetahuannya.

Prof. Muhammad Quraish Shihab, ahli tafsir kontemporer Indonesia, meng­atakan bahwa yang dimaksud dengan ulama ialah orang yang mempunyai penge­tahuan tentang ayat-ayat Allah SWT, baik yang bersifat kauniyyah (feno­mena alam) maupun Qur’aniyyah (me­nge­nai kandungan Al-Qur’an). Pendapat­nya ini diinduksi dari dua ayat Al-Qur’an yang masing-masing menyebut kata “ulama”. Ayat pertama ialah firman Allah SWT dalam surah Fathir (35): 28, “Dan de­mikian (pula) di antara manusia, bina­tang-binatang melata, dan binatang-bina­tang ternak, ada yang bermacam-ma­cam warnanya (dan jenisnya). Se­sungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ula­ma. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.”

Firman Allah SWT ini disajikan dalam konteks ajakan Al-Qur’an untuk mem­perhatikan berbagai fenomena alam be­rupa turunnya hujan dari langit, aneka ra­gam buah-buahan, gunung, binatang, dan manusia (QS 35: 27). Selanjutnya, Qu­raish Shihab mengatakan bahwa ula­ma adalah orang yang pengetahuan­nya mengantarkannya kepada pengeta­huan tentang kebenaran Allah SWT ser­ta me­lahirkan sikap tunduk, taqwa, dan khasy-yah (takut), apa pun disiplin ilmu­nya.

Pada mulanya kata tersebut berlaku bagi sebutan semua komunitas dan orang yang berkecimpung dalam la­pangan ilmu pengetahuan, agama Islam dan umum. Kemudian, mulai abad ke-2 H/8 M muncul aneka ragam disiplin ilmu serta benih-benih dikotomi di antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Se­jak itu sebutan “ulama” tenggelam da­lam sebutan baru yang sesuai dengan ilmu yang digeluti. Umpamanya, orang yang bergelut di bidang ilmu fiqih disebut “faqih”, orang yang mendalami studi hadits disebut “muhaddits”, orang yang ahli dalam menafsirkan Al-Qur’an disebut “mufassir”, orang yang menda­lami ilmu kalam disebut “mutakallim”, dan orang yang menekuni ilmu filsafat disebut “filsuf”. Bersamaan dengan itu, sebutan “ulama” secara denotatif me­nunjuk ke­pada komunitas orang yang secara khu­sus menekuni pengetahuan dan urusan keagamaan.

Pengertian denotatif tentang ulama ini, jika dihubungkan dengan asal-usul kebahasaannya, adalah “orang-orang yang memusatkan segala usaha dan perhatiannya untuk menafsirkan makna wahyu, mendefinisikan makna-makna nash secara terperinci, dan menggali hukum dengan bertitik tolak dari makna-makna itu”. Penggalian hukum, dengan demikian, menjadi tugas utama ulama.

 

Tugas Ulama

Berdasarkan hadits yang diriwayat­kan Imam Al- Bukhari, ulama adalah ahli waris para nabi. Oleh sebab itu, sesuai de­ngan tugas kenabian dalam mengem­bangkan Al-Qur’an, ada empat tugas utama yang harus dijalankan oleh ulama.

Pertama, menyampaikan ajaran Al-Qur’an, sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Al-Ma’idah (5): 67, “Hai Ra­sul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.”

Kedua, menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an, sesuai dengan firman Allah dalam surah An-Nahl (16): 44, “.... Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan....”

Ketiga, memutuskan perkara yang dihadapi masyarakat, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah (2): 213, “.... Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan....”

Keempat, memberi contoh penga­laman, sesuai dengan hadits ‘Aisyah RA, yang menyatakan, perilaku Rasulullah SAW adalah praktek terhadap Al-Qur’an (HR Al-Bukhari).

Klasifikasi Ulama

Imam Al-Ghazali membagi ulama ke dalam dua kategori, yaitu ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia adalah orang-orang yang dengan ilmunya ber­tujuan semata-semata untuk menca­pai kesenangan, kedudukan, dan kehormat­an di dunia, sedangkan ulama akhirat adalah sebaliknya. Menurut Imam Al-Ghazali, ulama dunia digambarkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya QS Ali-Imran (3): 99 dan 187.

Kaum ulama kelak akan menda­pat­kan kedudukan lebih tinggi di surga di­ban­ding dengan yang bukan ulama, ka­rena ulama memiliki ilmu yang diman­faat­kannya untuk dirinya sendiri maupun orang lain, sesuai firman Allah QS Al-Mu­jadilah: 11, “.... Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberikan ilmu (ulama) be­be­rapa derajat.. ..” dan hadits yang berbunyi: Perumpamaan keutamaan orang alim atas orang abid seperti keutamaanku atas orang yang paling hina di antara kalian (para sahabat). Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya serta penghuni langit dan bumi hingga semut di lubangnya dan ikan di laut benar-benar akan meman­jat­kan sha­lawat bagi orang alim yang meng­ajarkan kebaikan kepada manusia (HR At-Tirmidzi).

(Sumber : Catatan Peserta Makesta 2021 materi Ke-NU an)

Selasa, 24 Agustus 2021

Pelajar NU NGT

Tantangan Baru Bagi Kaderisasi

 


Masa depan sebuah organisasi sangat tergantung pada berjalan tidaknya proses kaderisasi. Bila kaderisiasi berjalan, maka masa depan organisasi itu terjamin, bila kaderisasi tidak jalan, maka masa depan organiasasi itu dalam kegelapan. Bisa jadi baik, karena muncul pimpinan yang tak terduga, tetapi bisa jadi suram karena pemimpin yang hadir tanpa dipersiapkan, sehingga  tidak mampu menyambung dan menggerakkan roda organisasi, baik itu organiasasi keluarga, keagamaan, kemasyarakatan, perusahaan, partai politik atau negara.

Saat ini kaderisasi menjadi barang langka, orang kembali ke alam primitif, tidak berinfestasi di sumber daya manusia. Mereka hanya merekrut orang yang sudah jadi. Risikonya harus banyar tinggi, baik bayar dengan uang, atau bayar dengan kekecewaan, sebab seorang pemimpin yang tidak memiliki komitmen organisasi setiap saat bisa meninggaklan organisasinya ketika mendapatkan tawaran yang lebih menguntungkan. Ini yang banyak terjadi saat ini.

Dengan tidak adanya kaderisasi ini, sering dalam menyusunan sebuah organisasi tidak lagi mempertimbangkan kemampuan dan pengabdian serta prestasi. Siapa yang dekat dengan pemegang kekuasaan, dengan modal uang atau menjilat, maka jadilah ia pemimpin. Prosedur rekrutmen tidak dilalui, bisa jadi kader yang berprestasi dilewai oleh petualangan yang tak berpengalaman. Organisasi hanya sebagai terminal atau batu loncatan untuk mencari posisi lebih tinggi. Oleh karena itu hampir semua organisasi sosial, politik dan keagamaan mengalami kerapuhan di dalam karena dikelola oleh orang yang tidak memiliki komitmen berorganisasi.

Kenyataan itu berkembang lebih para, ketika pemimpin yang muncul tidak memiliki visi kaderisasi, sehingga mereka hanya berjalan sendiri, dengan dalih lebih efisien. Ketika efisiensi telah diterapkan dalam organisasi, apalagi didasari oleh prinsip pragmatisme, maka efisiensi telah meruntuhkan system kderisasi organisasi. Kaderisasi tidak mesti dalam kelas resmi, tetapi dijalankan melalui penugasan. Penugasan sebagai proses pematangan telah ditiadakan, ketika para pemimpin lebih senang memilih event organizer (EO) untuk menjalankan suatu acara.

Cara itu memang simpel, dengan dana tertentu ia bisa menunjuk sebuah EO untuk melaksanakan kegiatan, tanpa melibatkan anggota organisasi secara keseluruhan. Dengan demikian dana bisa disimpan lebih banyak. Ketika organisasi banayak menyerahkan kegiatan pada EO maka praktis pengalaman mengkelola organisasi bagi anggota menjadi nihil. Akhirnya organisasi juga tidak ternbangun kebersamaan, maka lambat laun organisasi menjadi sebuah perusahaan pribadi yang tugasnya hanya menjalankan proyek. Bukan untuk menggerakkan organisasi dan menggerakkan masyarakat untuk tujuan tertentu.

Bila fenomena ini berjalan terus tanpa kontrol, maka organisasi akan menjadi korporasi, dan system kaderisasi akan punah. Demikian juga organisasai tidak mperlu memiliki berbagai departemen, karena seorang ketua, telah bisa menunjuk EO mana saja sesuai dengan bidang kerjanya. Anggota organisasi yang diterlantarkan tidak dimobilisasi akhirnya mengalami kejenuhan sendiri, karena itu satu-persatu mengundurkan diri, atau tidak aktif.

Fenomena EO ini juga sudah mulai merasuki kalangan aktivis NU, sehingga tugas kaderisasi organisasi jadi terhenti. Tidak ada aktivitas yang didistribusikan, tidak ada pengalaman yang disosialisasikan. Ini semua akibat lemahnya gerakan kaderisasi, sehingga organisasi berkembang tanpa pola, dan lama kelamaan organisasi mengalami kejenuhan, kemandekan bahkan terjadi kehilangan spirit. Kalaupun organisasi masih hidup, tetapi tidak memiliki aktivitas, hanya punya papan nama. Padahal masyarakat banyak membutuhkan pertolongan.

Sementara itu di sisi lain muncul kelompok Islam baru yang radikal dengan spirit organisasi yang tinggi, dan dengan pengkaderan yang sistematis, mulai menguasai keadaan. Kalau  kalangan ormas termasuk NU tidak memperbaiki system organisasinya, terutama sistem rekrutmen dan bidang kaderisasinya, NU akan mengalami disorganisasi dan akan mengalami demoralisasi, ketika komitmen berorganisasi tidak ditumbuhkan. Komitmen organisasi bisa ditumbuhkan melalui serangkaian keteladanan dan kaderisasi. 

(Sumber : Artikel Peserta Makesta 2021)

Senin, 23 Agustus 2021

Pelajar NU NGT

Pelajar NU Ngantang Rekrut Kader Baru

 

Ngantang, Pelajar NU Online

Pimpinan Anak Cabang IPNU dan IPPNU Kecamatan Ngantang kembali melaksanakan rekrutmen kader melalui Makesta di TPQ Miftakhul Falah, Lajo, Banjarejo, Sabtu-Ahad (28-29/4). Mereka melantik peserta Makesta raya selama dua hari itu.

Peserta Makesta raya terdiri atas beberapa remaja NU yang ada di sekitar wilayah Ngantang. Beberapa juga ada yang berasal dari Wilayah Kasembon. Peserta Makesta ini di ikuti oleh remaja NU kisaran Umur 13 sampai 23 tahun. hal ini terlihat dari beberapa biodata peserta yang menunjukkan masih bersekolah SMP, SMA bahkan Perguruan Tinggi.

Menurut Ketua pelaksana Wulandari, Makesta raya ini merupakan kaderisasi formal pertama dari IPNU-IPPNU sebelum Lakmud. Diharapkan adanya Makesta ini dapat mencetak kader-kader IPNU-IPPNU yang baru, inovatif, dan kreatif.

Ketua IPNU Kec. Ngantang Ahmad Danni mengatakan, Makesta merupakan pintu gerbang memasuki IPNU-IPPNU bahkan NU itu sendiri khususnya bagi pelajar dan santri. Makesta juga merupakan standar kompetensi bagi para pelajar dan santri sebagai anggota IPNU dan IPPNU.

“Sebelum dilantik dan dikukuhkan sebagai anggota dan kader sah IPNU-IPPNU, di dalam Makesta minimal mereka memahami dasar-dasar ke-IPNU dan ke IPPNU-an juga ke-NU-an dan Aswaja,” jelasnya.

Sementara Ketua IPPNU Kec. Ngantang Kukuh Widayanti mengatakan, adanya kaderiasasi Makesta ini menyambung generasi muda masa depan NU agar tidak terputus, karena akan terus berganti dan mencetak kader-kader muda NU yang nantinya akan menggantikan dan memimpin kepengurusan selanjutnya. Dengan demikian estafet kepemimpinan di tubuh NU dan IPNU-IPPNU Kecamatan Ngantang akan terus berjalan. (Sulthon/Red)

Jumat, 13 Agustus 2021

Pelajar NU NGT

Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Ilmu Tauhid

 





Di dalam mempelajari Ilmu Tauhid atau aqidah, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) menggunakan dalil nadli dan aqli. Dalil naqli ialah dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW dan dalil Aqli ialah dalil yang berdasarkan akan pikiran yang sehat.

Sebagaimana dikemukakan bahwa madzhab Mu’tazilah mengutamakan dalil akal dari pada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka berani menafsirkan Al-Qur’an menurut akal mereka, sehingga ayat-ayat Al-Qur’an disesuaikan dengan akal mereka. Apabila ada hadits yang bertentangan dengan akal, mereka ditinggalkan itu dan mereka berpegang kepada akal pikirannya. Ini merupakan suatu these (aksi) yang akhirnya menimbulkan antithesa (reaksi) yang disebut golongan Ahlul Atsar(أهل الأثار)   

Cara berpikir Ahlul Atsar adalah kebalikan cara berpikir golongan Mu’tazilah. Ahlul Atsar hanya berpegangan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka tidak berani menafsirkan Al-Qur’an menurut akal, karena khawatir takut keliru, khususnya dalam ayat-ayat Al-Mutasyabihaat mereka menyerahkan maknanya kepada Allah SWT.

Seperti firman Allah SWT dalam surat al-Fath [48] ayat 10:

َيدُاللهِ فَوْقَ أَيْدِيْهِمْ
Tangan Allah di atas tangan mereka”.

Ahlul Atsar tidak mau menafsirkan apa yang dimaksud dengan tangan pada ayat tersebut, mereka menyerahkan maknanya kepada Allah SWT. Fatwa mereka hanya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah semata. Apabila mereka tidak menjumpai dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah mereka tidak berani untuk berfatwa. Dari golongan ini lahirlah seorang Imam yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab. Beliau dilahirkan di Nejed tahun1703 M.

Dengan demikian, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah yang dibawakan oleh Al-Imam Abdul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi mengembalikan ajaran Islam kepada Sunnah Rasulullah SAW dan para shahabatnya dengan berpegangan kepada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan tidak meninggalkan dalil-dalil akal. Artinya memegang kepada dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Cara Mempergunakan Dalil dalam Ilmu Tauhid

Madzhab Ahlusunnah wal Jama’ah mendahulukan atau mengutamakan dalil naqli dari pada dalil aqli. Jika akal manusia diibaratkan mata, maka dalil naqli diibaratkan pelita. Agar mata kita tidak tersesat, maka pelita kita letakkan di depan kemudian mata mengikuti pelita. Akal manusia mengikuti dalil Qur’an dan Hadits bukan Qur’an dan hadits yang disesuaikan dengan akan manusia.

Rasulullah SAW bersabda: (لاَدِيْنَ ِلمَنْ لاَ عَقْلَ لَهُtidak ada agama bagi orang yang tidak berakal. Maksudnya, orang yang berakal menerima agama. Akal menerima agama, bukan agama menerima akal, karena akal manusia bermacam-macam. Agama ialah syariat yang diletakkan oleh Allah SWT bersumberkan kepada wahyu dan sunnah Rasulullah SAW bukan bersumberkan kepada akal. Agama bukan akal manusia dan akal manusia bukan agama.

Fatwa agama yang datang dari mana pun saja kalau tidak berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas wajib kita tolak. Maka di dalam ilmu Tauhid kita berpegangan kepada Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.

Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dilahirkan di Bashrah pada tahun 260 H dan wafat tahun 324 H. Beliau belajar kepada ulama’ Mu’tazilah, di antaranya Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab Al-Jabal. Karena pada masa itu Mu’tazilah merupakan madzhab pemerintah pada zaman khalifah Abbasiyah; khalifah Al-Ma’mun bin Harun Al-Rasyid al-Mu’tashim dan Al-Watsiq, dan beliau termasuk pengikut setia madzhab mu’tazilah.

Setelah beliau banyak melihat kekeliruan faham Mu’tazilah maka beliau menyatakan keluar dari Mu’tazilah di depan khalayak ramai dengan tegas, bahkan akhirnya beliau menolak pendapat-pendapat Mu’tazilah dengan dalil-dalil yang tegas.

Dalam ilmu Tauhid, rukun iman menurut Ahlussunnah wal Jama’ah ada 6 (enam): Iman kepada Allah, kepada para Nabi/Rasul Allah, Kitab Suci Allah, Malaikat Allah, Hari Akhir, dan Qadla/Qadar Allah, yang insya Allah akan diuraikan pada kesempata berikutnya.

Gus. Fauzan, S.E
Ketua LD NU Kec. Ngantang
(Sumber : Catatan Peserta Makesta 2021 materi Ke-Aswajaan)

Selasa, 10 Agustus 2021

Pelajar NU NGT

4 Sumber Hukum dalam Aswaja

 


Di dalam menentukan hukum fiqih, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) bersumber kepada empat pokok; Al-Qur’an, Hadits/as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Secara singkat, paparannya sebagai berikut;

Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 2; Al-Maidah Ayat 44-45, 47 :

ذلِكَ اْلكِتَبَ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ

Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (Al-Baqarah; 2)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ اْلكفِرُوْنَ

Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang kafir”.

Tentu dalam hal ini yang bersangkutan dengan aqidah, lalu;

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ الظّلِمُوْنَ

Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang dhalim”.

Dalam hal ini urusan yang berkenaan dengan hak-hak sesama manusia

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ اْلفسِقُوْن َ

Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah golongan orang-orang fasik”.

Dalam hal ini yang berkenaan dengan ibadat dan larangan-larangan Allah.

Al-Hadits/Sunnah

Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44 dan al-Hasyr ayat 7, sebagai berikut;

وَاَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِكْرَ لِتُبَيِنَ لِلنَّاسِ مَانُزِلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl : 44)

وَمَاءَاتَكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَانَهكُمْ عَنْهُ فَانْتَهَوْاوَاتَّقُوْااللهَ, اِنَّ اللهَ شَدِيْدُاْلعِقَابِ

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras sikapnya”. (Al-Hasyr: 7)

Kedua ayat tersebut di atas jelas bahwa Hadits atau Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an dalam menentukan hukum.

Al-Ijma’

Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.

Kemudian ijma’ ada 2 macam :

1. Ijma’ Bayani (الاجماع البياني ) ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan kesepakatannya.

2. Ijma’ Sukuti (
2. Ijma’ Sukuti (الاجماع السكوتي) ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang lain diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu.

Dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham untuk diikuti, karena setuju dengan sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma’ bayani telah disepakati suatu hukum, wajib bagi ummat Islam untuk mengikuti dan menta’ati.

Karena para Ulama’ Mujtahid itu termasuk orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud yang dikandung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan mereka itulah yang disebut Ulil Amri Minkum (اولىالامر منكم  ) Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat : 59

ياأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْاأَطِيْعُوْااللهَ وَأَطِيْعُوْاالرَّسُوْلَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu”.

Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma’ apabila terjadi suatu masalah yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah S.A.W. Pada zaman sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a jika mereka sudah sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh ummat Islam. Inilah beberapa Hadits yang memperkuat Ijma’ sebagai sumber hokum, seperti disebut dalam Sunan Termidzi Juz IV hal 466.

اِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ اُمَّتىِ عَلىَ ضَلاَ لَةٍ, وَيَدُاللهِ مَعَ اْلَجَماعَةِ

Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas kesesatan dan perlindungan Allah beserta orang banyak.

Selanjutnya, dalam kitab Faidlul Qadir Juz 2 hal 431

اِنَّ اُمَّتىِ لاَتَجْتَمِعُ عَلىَ ضَلاَ لَةٍ فَاءِذَارَأَيْتُمُ اخْتِلاَ فًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِاْ لأَعْظَمِ.

 Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka apabila engkau melihat perselisihan, maka hendaknya engkau berpihak kepada golongan yang terbanyak”.

Al-Qiyas

Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa (قا س  ). Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya. Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-far’u, al-hukmu dan as-sabab. Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan dalam suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah beras (tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan pokok.

Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan hadits Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib dikeluarkan zakat. Meskipun, dalam hadits tidak dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras dan gandum itu kedua-duanya sebagai makanan pokok. Di sinilah aspek qiyas menjadi sumber hukum dalam syareat Islam. Dalam Al-Qur’an Allah S.WT. berfirman :

فَاعْتَبِرُوْا يأُوْلِى اْلأَيْصَارِ

Ambilah ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (Al-Hasyr : 2)

عَنْ مُعَاذٍ قَالَ : لَمَا بَعَثَهُ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم اِلىَ اْليَمَنِى قَالَ: كَيْفَ تَقْضِى اِذَا عَرَضَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ اَقْضِى بِكَتَابِ اللهِ قَالَ فَاءِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ, قَالَ فَاءِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فىِ كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ اَجْتَهِدُ بِرَأْيِى وَلاَ الُوْ قَالَ فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَدْرَهُ وَقَالَ اْلحَمْدُ للهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَا يَرْضَاهُ رَسُوْلُ اللهِ. رواه أحمد وابو داود والترمذى.

Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai-Nya.

Kemudian Al-Imam Syafi’i memperkuat pula tentang qiyas dengan firman Allah S.W.T dalam Al-Qur’an :

ياأَيُّهَااَّلذِيْنَ ءَ امَنُوْا لاَتَقْتُلُوْاا لصَّيْدَوَاَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَاعَدْلٍ مِنْكُمْ


 “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram, barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu”. (Al-Maidah: 95).

Sebagaimana madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah lebih mendahulukan dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits dari pada akal. Maka dari itu madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash yang shareh (jelas) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.




KH. Ahmad Suliyat
Rois Syuriyah MWC NU Kec. Ngantang
(Sumber : Catatan Peserta Makesta 2021 materi Ke-Aswajaan)

Senin, 02 Agustus 2021

Pelajar NU NGT

Prolog Makesta 2021 IPNU-IPPNU Ngantang

 


Kondisi pelajar hari ini, sesungguhnya adalah cerminan keadaan masyarakat di masa depan. Bila kondisi pelajar hari ini baik, maka keadaan masyarakat di masa depan sangat dimungkinkan baik. Sebaliknya, jika kondisi pelajar hari ini tidak baik, maka keadaan masyarakat di masa depan sangat dimungkinkan tidak baik. Ini adalah hukum sejarah.

Dalam konteks khusus Nahdlatul Ulama (NU), baik sebagai jamâ‘ah (komunitas) ataupun jam‘iyyah (organisasi), hukum sejarah yang berlaku juga begitu. Artinya, jika kondisi pelajar NU hari ini baik, maka sangat dimungkinkan keadaan NU akan baik di masa depan. Sebaliknya, jika kondisi pelajar NU hari ini tidak baik, maka sangat dimungkinkan keadaan NU akan tidak baik di masa depan.

Dalam hukum sejarah itu, strategi fundamental yang diperlukan ialah usaha sadar dan terencana untuk membina anak muda hari ini agar menjadi lebih baik. Strategi ini adalah keniscayaan jika keadaan masyarakat di masa depan diinginkan menjadi lebih baik. Bagi NU, jika menginginkan agar NU di masa depan dapat menjadi lebih baik, maka pembinaan generasi muda NU secara sadar dan terencana adalah mandat yang tidak bisa ditampik. Tegasnya, jika NU di masa depan ingin menjadi lebih baik, maka satu-satunya strategi yang harus dilakukan ialah membina generasi muda NU hari ini secara sadar dan terencana.

Di dalam anatomi NU sebagai sebuah jam‘iyyah, tak bisa ditampik bahwa Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) adalah representasi kaum muda NU. Maknanya, keadaan IPNU dan IPPNU adalah cerminan dari haru-biru dan hitam-putih keadaan kaum muda NU. Jika IPNU dan IPPNU hari ini baik, maka dapat disimpulkan bahwa generasi muda NU hari ini baik. Sebaliknya, jika IPNU dan IPPNU hari ini tidak baik, maka —tanpa ragu-ragu dan tanpa malu-malu, kita harus mengakui bahwa generasi muda NU hari ini tidak baik.

Kali ini, konteks khusus NU di Kec. Ngantang, kita harus mengakui dengan kebesaran jiwa bahwa IPNU dan IPPNU hari ini belum baik, bahkan untuk menyebut IPNU dan IPPNU telah ada (eksis) saja, kita belum bisa. Ini adalah kenyataan faktual yang harus diakui dengan kebesaran jiwa, tanpa tedeng aling-aling. Dalam kenyataan ini, NU Kec. Ngantang dapat memilih satu dari dua pilihan-berkebalikan yang ada. Pertama, jika NU Ngantang diinginkan menjadi lebih baik di masa depan, maka pembinaan IPNU dan IPPNU secara sadar dan terencana adalah pilihan yang harus diambil dan dilakukan. Atau kedua, jika NU Kec. Ngantang tidak diinginkan menjadi lebih baik di masa depan, maka pembinaan IPNU dan IPPNU secara sadar dan terencana adalah pilihan yang tidak harus diambil dan tidak perlu dilakukan.

Berangkat dari rumusan-rumusan di atas, kami menginsyafi dan menyadari bahwa NU Kec. Ngantang khususnya, harus menjadi lebih baik di masa depan. Ini adalah pilihan mutlak tak tertawar. Dan bukan lain, untuk menjadikan NU di Kec. Ngantang lebih baik di masa depan, maka sebuah ihwal mendasar yang harus dipilih dan dilakukan ialah pembinaan IPNU dan IPPNU Ngantang secara sadar dan terencana demi pembinaan generasi muda NU di Kec. Ngantang pada umumnya.




Oleh karena itu, kami berencana menyelenggarakan Masa Kesetiaan Anggota (Makesta) Kebangkitan, berikut dengan di susulnya nanti Konferensi Anak Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama & Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama Kec. Ngantang. Bukan lain, kegiatan ini kami pahami sebagai sebuah strategi dan ikhtiyar untuk membina IPNU dan IPPNU di Kec. Ngantang secara sadar dan terencana, demi menjadikan NU Ngantang lebih baik di masa depan. lebih dari itu, sengaja kami memilih: “Terbinannya kepribadian Pelajar NU yang berkualitas, sadar fungsi dan tanggung-jawabnya sebagai kader NU dan bangsa.” sebagai tema kegiatan. Semoga Allah meridhai langkah kami, dan selalu memberikan bimbingan dan pertolongan-Nya. Amin.