Selasa, 11 Mei 2021

Pelajar NU NGT

Refleksi Hari Buruh Internasional

 

Gerakan buruh di Indonesia muncul di sekitar pertengahan abad ke-19 ketika sifat merkantilis Belanda mulai berubah menjadi kapitalisme-perusahaan dan ketika peran langsung pemerintah di bidang ekonomi digantikan oleh kelas borjuasi swasta Belanda. Pada masa ini mulai tumbuh kelas buruh Indonesia. Kemunculan gerakan buruh juga didorong oleh pertumbuhan kaum terpelajar pribumi yang radikal. Lapisan yang terakhir ini muncul akibat perluasan pendidikan gaya barat yang merupakan dampak dari politik etis Belanda. Selama 1900-1920, misalnya, jumlah murid bumiputera yang bersekolah di sekolah dasar HIS meningkat dari 896 menjadi 38.024 orang, sementara yang melanjutkan ke sekolah menengah HBS dan MULO meningkat dari 13 menjadi 1168 orang. Adapun yang sampai ke pendidikan ketrampilan seperti STOVIA dan OSVIA meningkat dari 376 menjadi 3917 orang (Shiraishi 1997: 37-38).

Salah satu permasalahan fundamental dalam sebuah negara adalah masalah buruh mulai dari tindakan sewenang-wenang pengusaha, pemberian upah yang tidak layak, PHK sepihak dan lain sebagainya. Buruh menjadi objek pembahasan penting dalam disiplin ilmu ekonomi, terutama dari aliran Kapitalisme, Sosialisme maupun Islam. Dalam ilmu ekonomi, buruh dianggap sebagai sumber daya yang dimiliki manusia yang digunakan dalam proses produksi, sehingga buruh adalah input atau faktor pengeluaran atau biaya produksi. Sementara dalam Islam, faktor buruh tidak harus dianggap sebagai biaya produksi atau faktor pengeluaran, karena hal itu akan merendahkan derajat manusia sebagai wakil Allah di atas bumi. Seorang buruh yang menjual tenaganya untuk mendapatkan imbalan upah, sejatinya dia menjual sebagaian dari apa yang dimilikinya, dan bukan menjual dirinya. Maka tidak semestinya buruh dianggap sebagai faktor produksi atau biaya pengeluaran.

Berangkat dari permasalahan di atas, maka tulisan berikut ini akan membahas tentang konsep buruh dalam perspektif Islam. Sebagai ajaran komprehensif dan universal, agama Islam mengatur berbagai berbagai komponen dalam kehidupan manusia termasuk dalam bidang perburuhan. Dengan tujuan, agar pengetahuan tentang buruh dalam Islam tersebut, dapat terimplementasi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan solusi atas berbagai permasalahan-permasalahan fundamental relasi buruh dan majikan dalam kehidupan kontemporer.

Istilah buruh yang dalam bahasa Inggris labor diartikan sebagai seseorang yang melakukan pekerjaan tertentu untuk mendapatkan upah. Namun buruh juga diartikan sebagai prestasi seseorang maupun kelompok yang harus dikaitkan dengan industri modern, produksi, organisasi, tenaga kerja serta tergantung pada keberhasilan perusahaan modernMenurut Kamus besar Bahasa Indonesia, buruh dapat diartikan dengan seseorang yang bekerja untuk orang lain yang mempunyai suatu usaha kemudian mendapatkan upah atau imbalan sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Upah biasanya diberikan secara harian maupun bulanan tergantung dari hasil kesepakatan yang telah disetujui. Buruh terdiri dari berbagai macam, yaitu: Buruh harian, Buruh kasar, Buruh musiman, Buruh pabrik, Buruh tambang, Buruh tani, Buruh terampil, Buruh terlatih (Abha, 2013: 20). Batasan istilah buruh/pekerja diatur secara jelas dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 2 Tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi: “Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang berkerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.” (Riyadi, 2015: 161). 

Jadi dari berbagai pengertian di atas dapat dipahami bahwa buruh merupakan orang yang bekerja dan mendapatkan upah (gaji) atau imbalan sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, baik secara harian, mingguan maupun bulanan, beserta kompensasi-kompensasi lainnya yang melekat padanya. Islam sebagai agama rahmatan lil alamien, sangat memperhatikan buruh. Dalam lintasan sejarah, Islam datang pada suatu zaman yang penuh dengan kezaliman, penindasan, ketidakadilan, dan ketmpangan ekonomi, sehingga masyarakat di golongkan ke dalam kelompok-kelompok kecil berbasis suku dan kabilah. Sturktur sosial seperti inilah yang kemudian memunculkan stratifikasi sosial yang sangat kuat (Harahap, dkk, 2015: 71).

Sistem ekonomi Islam berangkat dari kesadaran tentang etika, sebuah ethical economy. Sangat berbeda dengan sistem lain, baik kapitalisme maupun sosialisme. Kapitalisme melihat buruh hanyalah pekerja dan si majikan adalah pemberi kerja, status di antara keduanya secara otomatis menimbulkan adanya tingkatan kelas secara ke atas dan ke bawah, atau yang biasa disebut dengan stratifikasi sosial. Hal ini menimbulkan perbedaan distribusi wewenang antara majikan dan buruh serta munculnya perbedaan berdasarkan posisi, status dan kelebihan yang dimiliki. Sedangkan dalam konteks upah terhadap buruh Kapitalisme melihat bahwa pemberian upah oleh kapitalis hanya sekedar pengganti biaya atas apa yang telah dikerjakan, atau hanya sekedar untuk melanjutkan hidup serta besaran upah di sesuaikan dengan standar hidup minimum di daerah tempat si buruh bekerja (Riyadi, 2015: 164).

Sedangkan dalam pandangan Sosialisme buruh merupakan pihak yang sangat tereksploitasi oleh sistem kapitalisme. Untuk itu, perlu dihilangkannya kepemilikan individu atas alat-alat produksi dan meminta peran pemerintah sebagai pelaksana perekonomian. Adapun Islam melihat buruh merupakan makhluk Allah SAW yang
sama dengan manusia lainnya. Maka Islam tidak pernah menganjurkan memusuhi kekayaan dan orang-orang kaya sabagaimana dalam faham Sosialisme. Tidak juga membebaskan sebebas-bebasnya individu sebagaimana dalam faham Kapitalisme. Bahkan Islam sendiri menganjurkan agar setiap orang menjadi kaya sebagai bagian dari kebahagiaan yang harus dicapainya di dunia. Ekonomi Islam memilih jalan keadilan dalam mencapai kesejahteraan sosial. Bahwa kesejahteraan sosial yang tercapai haruslah dibangun di atas landasan keadilan (Riyadi, 2015: 168).

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Strategi dan taktik yang digunakan kaum buruh Amerika Serikat dalam menghadapi kaum pengusaha dalam perselisihan perburuhan tampak pada strategi dan taktik Federasi Buruh Amerika dalam menghadapi perselesihan perburuhan dengan kaum pengusaha. Strategi Federasi Buruh Amerika dalam menghadapi kaum pengusaha dengan menerima kaum pengusaha untuk diajak bekerjasama untuk membicarakan masalah perjanjian kerja. Federasi Buruh Amerika berharap kaum pengusaha memberikan jaminan hak-hak buruh yang diwujudkan dalam perjanjian kerja, sehingga kaum buruh di Amerika Serikat dapat diperlakukan sebagai warga negara penuh di dalam masyarakat kapitalis. Selain itu Federasi Buruh Amerika menggelar strategi menolak gerakan buruh radikal yang mempercayai kebenaran teori perjuangan kelas seperti yang ditunjukkan kaum Marxis maupun kaum anarkis.

Gerakan tersebut dianggap sebagai jenis ideology impor dari luar negeri dan tidak cocok dengan sendi-sendi dasar kebudayaan Amerika Serikat. Ideologi radikalisme (Marxisme dan Anarkisme) akan merintangi dan menodai gerakan serikat buruh di Amerika Serikat, bahkan ideologi radikalisme hanya akan mengkonsentrasikan seluruh elemen masyarakat untuk melawan gerakan serikat buruh, sehingga akan melenyapkan keberadaan kaum buruh di Amerika Serikat. Berbagai taktik di dalam gerakan buruh meliputi: gerakan pengorganisasian, boikot, sabotase, slowdown (menghambat pekerjaan), aksi pemogokan. Namun Federasi Buruh Amerika lebih memilih taktik gerakan pengorganisasian dan merasa tidak cocok dengan taktik boikot, sabotase maupun slowdown.

Islam sebagai agama rahmatan lil alamien, sangat memperhatikan buruh. Islam melihat buruh merupakan makhluk Allah SAW yang sama dengan manusia lainnya. Maka Islam tidak pernah menganjurkan memusuhi kekayaan dan orang-orang kaya sabagaimana dalam faham Sosialisme. Tidak juga membebaskan sebebas-bebasnya individu sebagaimana dalam faham Kapitalisme. Untuk itu, Islam memandang buruh adalah Saudara yang harus diperlakukan sebaik mungkin oleh majikan. Kemudian memerintahkan setiap majikan untuk memperlakukan buruh dengan baik, dalam bentuk menghormati dan menjaga serta bersikap ramah dan menjaga dari memperlakukan buruh secara tidak terhormat.

Islam juga mengharuskan majikan untuk memberikan beban kerja yang tidak melebihi batas kemampuan buruh. Hal ini dilukiskan dalam Al-Quran melalui kisah nabi Musa AS, yang bekerja di rumah nabi Syu’aib AS (QS. Al-Qashash [28]: 27) serta memberikan upah yang layak dan tepat waktu kepada buruh. Sedangkan kewajiban moral seorang buruh terhadap majikan Islam memberikan tuntunan agar setiap buruh menghormati majikan dengan cara melaksanakan segala kewajiban yang telah terikat dengan majikannya.

Seiring dengan proses industrialisasi, isu-isu perburuhan akan terus tumbuh aktualitasnya dan dalam konteks demikian kajiah-kajian historis mengenai perburuhan, akan memberikan kontribusi berharga kearah pemahaman yang lebih utuh mengenai dinamika sejarah dan pemecahan masalah-masalah perburuhan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya disambut dengan pikiran dan tangan terbuka.


Pelajar NU NGT

About Pelajar NU NGT

Author Description here.. Nulla sagittis convallis. Curabitur consequat. Quisque metus enim, venenatis fermentum, mollis in, porta et, nibh. Duis vulputate elit in elit. Mauris dictum libero id justo.

Subscribe to this Blog via Email :